Running teks

Selamat Datang di Blog Pendidikan dan Informasi, Silahkan dibaca, atau download berbagai materi perkuliahan yang saudara butuhkan...

Sabtu, 21 Maret 2009

ARTIKEL

PENDIDIKAN KITA

Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus. Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.
Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?
Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.
PERLU PENDIDIKAN YANG BERMORAL
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.
Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.
Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).
Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.
Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.
Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.
Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.
Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.
Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.
Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya? Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?
Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.
Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.
Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.
PEJABAT HARUS SEGERA BERBENAH DIRI DAN MENGUBAH PERILAKU
Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.
Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.
Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?
HARAPAN
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.
Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan.

MADRASAH: LEMBAGA PENDIDIKAN BERBASIS “KARAKTER MANUSIA”

Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,keparibadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN No. 2 Tahun 1989, pasal 4).
Manusia Indonesia seutuhnya, menurut Indra Djati Sidi, di samping yang tercantum dalam UUSPN, juga perlu memiliki keunggulan dan ketangguhan untuk dapat bersaing di abad millenium ini. Pada abad ini, keterbukaan dan persaingan di berbagai bidang akan semakin meningkat. Oleh karena itu lebih lanjut Indra DJati, mengatakan sebgai bangsa agar kita dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia, maka diperlukan watak dan karakter bangsa yang unggul, tangguh, memiliki nasionalisme yang tinggi, memiliki komitmen terhadap kewajibannya sebagai warga Negara yang baik.
Ketika kita berbicara tentang pendidikan tidak sebatas tembok-tembok kelas sekolah, tidak sebatas menyampaikan angka-angka, dan rangkaian kalimat-kalimat kepada siswa, tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Nurcholis Majid (alm), membicarakan pendidikan melibatkan banyak hal yang yang harus direnungkan. Sebab, pendidikan meliputi keseluruhan tingkah laku manusia yang dilakukan demi memperoleh kesinambungan, pertahanan dan peningkatan hidup. Dalam bahasa agama, demi memperoleh ridha atau perkenan Allah. Sehingga keseleruhan tingkah laku tersebut membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (berakhlaq Karimah), atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di Hari Kemudian. Hal semacam ini terkandung dalam do’a iftitah sholat, bahwa sholat kita, darma bakti, hidup dan mati kita adalah untuk atau milik Allah, seru sekalian alam.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan islam di Indonesia telah muncul dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya islam di Indonesia. Madrasah tersebut telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa Indonesia sejak zaman kesultanan, masa penjajahan dan kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah mengubah pendidikan dari bentuk awal seperti pengajian di rumah-rumah, mushalla dan masjid menjadi lembaga formal sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat ini.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan madrasah, dari segi materi pendidikan telah terjadi perkembangan, kalau semula hanya belajar mengaji al-Qur,an dan ibadah praktis, melalui system madrasah materi pelajaran mengalami perluasan seperti tauhid, tafsir, hadits, bahasa Arab. Sehingga terjadi sebuah ketidak seimbangan dalam perkembangan intlektualias siswa madrasah, disatu sisi sangat bagus dalam penguasaan ilmu-ilmu agama, namun di sisi lain kalau tidak keliru sangat lemah dalam penguasaan keilmuan yang berkarakteristik umum, sehingga dalam perkembangan kemudian madrasah mengadopsi pelajaran umum seperti sekolah-sekolah dibawah pembinanaan Dikbud (Dikpora). Dengan begitu, selain terjadi intergrasi ilmu agama dan umum, madrasah telah memberikan program-program pendidikan yang setara dengan pendidikan yang diberikan ileh Depdikbud (Dikpora).
Sebagai sebuah lembaga pendidikan madrasah tentunya tidak akan berbeda sistem pendidikan yang dikembangkannya dengan sekolah-sekolah yang lain, baik dari kurikulum, proses, maupun tujuannya…. Lihat buku Prof Tafsir IPI…
Berbicara tentang madrasah tidak pernah akan habis dalam wacana pendidikan, dalam tataran historis bangsa inipun madrasah tidak lepas dari gandengan tangan zaman kolonialis, namun tangan- tangan kolonialis terputus dalam merenda pendidikan yang dilakoni oleh madrasah. Betapa tidak waktu itu madarasah dijaga ketat, dibelenggu oleh aturan-aturan administrative pemerintah kolonial. Pasca kemerdekaan, warisan-warisan paradigma kolonilis masih membelenggu alam sadar komponen bangsa ini dalam menyikapi madarasah, padahal kalau mau jujur betapa banyak anak bangsa ini yang terselamatkan dari buta aksara, tercerahkan wawasan dan sisi bathin kemanusiaan di isi dengan unsure-unsur ke Ilahian, karena sumbangsih madrasah. Namun dengan semangat dan tekad yang dimiliki oleh madrasanis (orang-orang yang peduli madrasah) lembaga madrasah ini masih tetap eksis sampai sekarang, walau sempat tertatih dan terseok-seok oleh kebijakan politik pendidikan dalam negeri yang konon mayoritas umatnya beragama islam. Dalam konteks kekinian madarasah adalah sekolah umum yang bercirikan agama, karena doktrin kurikulum yang dianut sama dengan SMA, tinggal pengelolaan madrasah sebagai wadah pembinaan kreatifitas umat untuk mengarah kepada yang berkualitas dan tentunya juga islami.Kembali ke judul tulisan ini, bagaimana madrasah di kelola supaya bisa mengembangkan asfek-asfek kemanusiaan peserta didik, supaya lebih manusiawi.
Madrasah Berbasis Karakter manusia
Ketika kita berbicara pendidikan yang berkualitas dari out put, lulusannya terkadang terlihat ada sebuah kepincangan di satu sisi intlektualitas tidak diragukan kalau bisa dikatakan seperti itu. Namun dari sisi kemanusiaan tidak terjadi sebagai mana perolehan intlektualitas, kurang peduli dalam ranah social, agak cuek dengan masalah-masalah social…. Lihat Buku Epistimmologi Islam (Prof Mastuhu)

GURU “OASIS” DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Sesungguhnya pendidik dalam syariat islam yang lurus
Adalah manusia penuh kasih sayang bukannya yang
Sombong berbangga diri
Sekumpulan gembala
bercucuran darah dilecuti
cemeti keangkuhan
Ia melihat dirinya singa
Yang telah menyerang
Dalam kegelapan anak-anak kita
Wahai para penggembala
Adalah titipan di pundak kalian
Bukannya boneka yang dibuat tergesa
(Syaikh Kamil Badr)

Pendidik dalam islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak anak didik, dalam islam, orang yang paling bertanggung jawab itu adalah orang tua anak didik, menurut Prof. H. A. Tafsir sekurang-kurangnya ada dua hal : 1). Karena kodrati, yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ditakdirkan pula untuk bertanggung jawab untuk mendidik anaknya. 2). Karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya sukses orang tua juga.
Dengan alasan ini tidak sedikit orang tua yang menentukan dan memaksakan pilihan pendidikan bagi anak-anaknya dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi, tanpa pernah mau tahu potensi apa yang dimiliki oleh anak-anaknya.
Seiring dengan perkembangan zaman pendidikan keluarga, tidak lagi menjadi lembaga sentral untuk menddik anak, peranan orang tua sebagai pendidik, bergeser ke lembaga formal,sekolah. Yang did alamnya ada program yang sistematik dalam memberikan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (peserta didik), agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya secara optimal,baik menyangkut asfek fisik, psikis(intlektual dan emosional), social, maupun moral – spiritual (Prof. Syamsu Yusuf), senada dengan Syamsu Yusuf, mengenai aspek yang perlu dikembangkan pada diri siswa, A.Tafsir mengatakan peserta didik perlu mendapatkan perhatian secara totalitas dalam aspek jasmani, akal dan rohaninya. Tanggung jawab sekolah sangat berat sekali dalam membentuk kepribadian peserta didik, yang bukan hanya kogniotif oriented. Sehingga, Hurlock (1959) sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian anak, karena sekolah merupakan substitusi dari keluarga, dan guru substitusi dari orang tua. Dan yang di sebut terakhir ini (guru) menjadi harapan sekolah dan orang tua untuk melaksanakan tugas mendidik. Mengenai peranan guru (pendidik) dalam pendidikan akhlak peserta didik, Syamsu Yusuf, mengutip pendapat Imam Al-Ghazali bahwa penyembuhan badan memerlukan seorangdokter yang tahu tentang tabiat badan serta macam-macam penyakitnya dan cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan seorang dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya.
Salah satu hal yang sangat menarik pada ajaran islam ialah penghargaan islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya tingginya penghragaan itu, menurut A. Tafsir, sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian? Karena guru selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan islam sangat menghargai ilmu pengetahuan. Penghargaan islam terhadap ilmu tergambar dalam-antara lain-hadits yang artinya sebagai berikut: 1).Tinta ulama lebih berharga darah syuhada. 2).Orang berpengetahuan meebihi orang yang senang beribadat,yang berpuasa dan menghabiskan waktu malamnya untuk mengerjakan shalat.3).Apabila meninggal seorang alim (berilmu),maka terjadilah kekosongan dalam islam yang tidak dapat didisi kecuali seseorang alim yang lain.
Ilmu dating dari, guru pertama adalah Tuhan. Pandangan yang menembus langit ini,telah melahirekan sikap pada orang islam bahwa ilmu iitu tidak terpisah dari Allah; ilmu tidak terpisah dari guru, maka kedudukan guru amat tinggi dalam islam. Pandangan ini selanjutnya akan menghasilkan hubungan yang khas antara guru dan murid. Dalm islam tidak berdasarkan hubungan untung- rugi, apalagi untuk dalam arti ekonomi. Inilah penyebab yang pernah muncul kalangan ulama islam bahwa guru haram mengambil upah (gaji) dari pekerjaan mengajar.Hubungan guru murid dalam islam pada hakikatnya adalah hubungan keagamaan, suatu hubungan yang mempunyai nilai kelangitan.
Ketika salah satu stasiun televisi pernah menyuguhkan tayangan “Artis Jumpa Fans” yang di kemas dalam acara “Mimpi Kali Ye” saya begitu kagum dengan sifat emosional yang dimiliki oleh fans, mereka sangat histeris, menangis sesunggukan,memeluk,mencium, bahkan pingsan, saat sang idola berada di sampingnya. memang terlihat sekali rasa sensitivitas yang mengakar dalam jiwa-jiwa kekaguman. Dunia selebritis dengan dunia yang digeluti oleh sosok “guru” sangat jauh berbeda. Tapi minimal ada sebuah kemiripan walau agak dipaksakan. Guru dan artis adalah sebuah profesi (paradigma Barat), peserta didik dan fans adalah manusia yang sama-sama mempunyai keterikatan emosional.
Tulisan ini tidak ingin menggeret wacana supaya terjadi sebuah perjumpaan antara guru dan peserta didik ala selebriti dan fans-nya. Tapi bagaimana seorang guru bisa dijadikan sebuah sandaran kegelisahan jiwa-jiwa merana atau jiwa nomaden siswanya untuk melakukan pencerahan intlektual, membangun aklaq al-Karimah, atau ketika seorang siswa berada dalam kelas, ia bisa tenang, sejuk dalam tataran psikologis, kala melihat gurunya menyampaikan bahan ajar, ibarat seseorang yang berada dipadang sahara melihat oasis, lalu mendekat dan merasakan kesejukan dan kedamaian saat berada dalam lingkaran oasis tersebut.
Guru dituntut bagamana membangun dan menata kepribadian serta kompetensinya, supaya ketika akan masuk kelas, ia sudah mapan dalam keilmuannya, dan penggunaan metodologi keilmuan yang bagus, hingga siswanya tergeret secara psikologis untuk mengikuti pembelajaran tanpa ada unsur-unsur keterpaksaan. Siswa merasa terlindungi dan dibimbing secara alamiah tanpa ada rasa tekanan. sehingga ia akan datang ke lembaga pendidikan diiringi dengan motivasi yang tinggi untuk menerima ilmu. Dan merekonstrusikannya kembali dalam kehidupan nyata, serta ilmu yang ia dapatkan bisa dijadikan sebagai acuan bertutur dan bersikap yang normatif. Untuk menjadikan harapan itu menjadi sebuah kenyataan, tentunya seorang guru harus berbenah agar ia dijadikan figur oleh peserta didik, agar mereka, ketika menemukan sebuah kegamangan tentang kehidupan, mereka kembali ke gurunya untuk mencari sebuah solusi bijak, dalam rangka menata kepribadian kearah yang lebih matang dan bertanggung jawab.
Tapi kenyataan yang kita temukan, di meja-meja siswa ada coretan-coretan protes seorang siswa yang tidak puas dengan keadaan gurunya, baik dalam penguasaan bahan ajar, maupun cara penyampain dan tafsiran bahan ajar, bahkan lebih sadis lagi coretan tersebut beralih ke tembok-tembok sekolah, sembari memunculkan sumpah serapah seoarng siswa kepada guru. Apa yang terjadi sebenarnya, apakah guru telah mati suri dalam unsur kharismatiknya, atau telah mati rasa dalam menyikapi problem yang di alami siswa atau ada aspek lain yang mempengaruhi kondisi psikologis siswa, atau tidak ada lagi ada teman yang sanggup mengerti tentang beban hidup mereka, bahkan termasuk gurunya, ketika ia mencoba untuk curhat ke teman-temannya, ia malah diabaikan begitu saja atau mungkin disuguhkan kata-kata hinaan, lalu ketika ia mencoba memunculkan dengan sikap yang berbeda di kelas, usil ke teman sekelasnya, ternyata guru memarahinya, mereka tidak menemukan sebuah kata-kata empatik. Maka guru tidak lagi di pandang sebagai oasis dalam sahara pendidikan yang bisa menyejukkan baik, dari tampilan sikap, tutur kata yang bijak.
Atau barang kali tanpa disadari alam pikiran telah dicekoki, bahkan menjadikan ajaran-ajaran marxis sebagai sebuah ideology, yang terlalu mengedapan material untuk berprestasi, sehingga yang dijadikan ukuran-ukuran prestasi adalah tumpukan sertifikat, local maupun nasional, dan penghargaan materialistic lainnya, tapi guru tidak lagi peduli kondisi siswanya, yang ingin dibimbing dengan penuh kasih sayang, menghargainya sebagai manusia dan mengembangkan unsure-unsur kemanusiaan dengan pendekatan yang lebih humanis, sebagai yang tersirat pada bait-bait puisi diatas.
Sementara jiwa nomaden yang dimiliki siswa terus mengalami sebuah konversi, pada usia anak sekolah, yang diakibatkan interaksi dengan, teman sejawatnya, surat kabar, majalah, media beserta lingkungannya. Apalagi pada zaman yang serba instan sekarang ini, manusia dengan begitu mudahnya mengakses berbagai macam informasi, yang bisa dijadikan referensi dalam berpikir, bersikap dan berprilaku, tak ketinggalan juga yang namanya peserta didik untuk tergiring kedalam system kehidupan zaman sekarang. Terlebih lagi dengan semakin maraknya suguhan TV hedonistik, meminjam istilahnya Idi Subandi Ibrahim, acara remeh temeh yang ditampilkan langsung diadopsi oleh berbagai macam elemen masyarakat. A. Bandara, Salah seorang tokoh teori belajar social (social learning theory), mengemukakan “orang belajar dari pengalaman langsung atau dari pengamatan (mencontoh model). Orang belajar dari apa yang ia dengar, dan lihat di media, dan juga dari orang lain, serta linkungkannya.” Disinilah dituntut kecerdsan dan kepekaan seorang guru untuk lebih sensitive dan obyektif dalam melihat kondisi peserta didiknya dengan multi dimensional, sehingga ketika peserta didik mendapatkan sebuah kesulitan belajar, guru tidak mengkambing hitamkan peserta didik sebagai tempat berpijaknya semua permasalahan. Tanpa pernah ada niat menggurui, di saat ada waktu senggang alangkah arifnya seorang guru untuk menanyakan keadaan siswanya bagaimana belajarnya, kendala apa saja yang dihadapi dan sekaligus mempunyai sebuah alternatif jalan keluar dari persoalan yang dihadapi. dan lebih arif dan bijak lagi kalau guru menanyakan sisi mana kelemahannya sewaktu mengajar dalam kelas, dan guru juga harus banyak melakukan introspeksi dan otokritik terhadap penggunaan metode pembelajaran yang ia gunakan, karena yang lebih banyak tahu dan menilai kelebihan dan kelemahan guru adalah peserta didik di kelas.Hal semacam ini akan menjadikan hubungan guru dan siswa menjadi lebih dekat dan komunikatif dan ingat wibawa guru itu tidak akan rontok. Walaupun kedudukan guru dalam pandangan islam menurut A. Tafsir, mempunyai warna kelangitan.
Oleh karena itu di sinilah dituntut seorang kepala sekolah harus membangun lingkungan kerja yang menyenangkan, membangun dan mengembangkan semangat kebersamaan, sambil membuang sikap pilih kasih terhadap patner kerjanya, yakni guru-guru di lingkungannya, kepala sekolah hendaknya menunjukkan kearifan local dan lingkungan kerja, sehingga akan tercipta suasana yang menyenangkan, menyapa guru-guru dan siswanya dengan ramah,mengeluarkan kata-kata yang menyejukkan hati, kala ada seorang guru dan siswanya berbuat kekeliruan sebatas kekeliruan dalam dunia pendidikan ia membimbingnya, bukan menunjukkan sikap yang cuek dan muka masam, Bila lingkungan kerja yang demikian diciptakan, gurupun akan menikmati pekerjaan dengan baik, dan akan menampilkan sikap-sikap oasis serta akan mengalir ke jiwa-jiwa peserta didik dengan tenang dan damai. Sebagai sebuah renungan untuk membina peerta didik, ketika Rasulullah mendidik,membimbing sahabat-sahabatnya beliau sangat dekat sekali dengan para sahabat-sahabtanya, ketika membentuk halakah untuk menyampaikan wahyu sebagai bahan ajar, beliau duduk bersama sehingga orang lain yang melihat kenyataan semacam itu, tidak bias mebedakan mana Rasul dan sahabat-sahabatnya, rasulullah di jadikan sandaran bagi sahabat-sahabat, kala mereka menemukan sebuah problem ia kembali ke rasul Wallahu A’lam
Penulis, Guru MAN 2 Lima Kaum, MahasiswaS2,Konsentrasi Pendidkan SKI, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung
Baaaaaacaaaa doooeeeelooooeeee

KEPALA SEKOLAH, KELOMPOK KERJA GURU (KKG) DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

Di atas dunia ini tidak ada sesuatupun yang abadi, selalu mengalami sebuah proses gerak dan mengalami perubahan, sebagaimana yang di katakan oleh Heraklitus, kita tidak akan menginjak air yang sama untuk kedua kalinya, dengan nada yang sama Henri Bergson, memerikan realitas “sebagai Kesinambungan menjadi”. Gerak dan perubahan kehidupan cendrung berkembang kearah yang lebih baik dan lebih maju, atau akan selalu berpihak kepada kemudahan hidup manusia. Rumi berkata, “segala sesuatu cinta pada kesempurnaan, maka iapun meronta ke atas laksana tunas”semua inilah yang dinamakan dinamika kehidupan.
Dinamika atau perubahan ini merupakan suatu realitas yang tidak bisa dihindari dan dibantah, dan telah menjadi sifat dasar dari segala yang ada dibumi ini, termasuk manusia dan lembaga-lembaga yang ia bikin.Dinamika kehidupan merambah dalam semua aspek kehidupan dan tidak ada yang luput darinya, termasuk dunia pendidikan serta aspek-aspek yang mengitari dunia pendidikan tersebut, yang salah satunya adalah kurikulum pendidikan.lihat buku pembagna n pendiidikan nasinonal dari 45-55 dan E Mulyasa
Perubahan kurikulum harus diantisifasi dan dipahami oleh berbagai pihak, karena kurikulum sebagai rancangan h 4.
Kepala Sekolah
Semua orang akan mengatakan, bahwa titik sentral dalam sebuah lembaga pendidikan sekolah, sangat terletak dalam kepiawaian dan kecerdasan seorang kepala sekolah dalam mengelola lembaga pendidikan ini. Supaya sekolah/madrasah mempunyai arti penting dalam menjalankan misi bangsa dalam hal mencerdaskan kehidupan masyarakat lewat dunia pendidikan dibutuhkan seorang kepala sekolah yang potensial, sehat jasmani dan rohaninya, mengembangkan sikap – sikap demokratis, yang selalu melihat kelebihan bawahannya tidak sibuk mencari kesalahan anak buahnya, jangan cepat masuk angin bila di kritik, apalagi lagi kalau tidak diikuti peraturannya yang dalam lingkaran gaya lama

MASYARAKAT YANG “MATI RASA”

Satu kata banyak makna
Dua kata selaksa makna
Dan kodrat manusia tuk berucap kata
Tiada jejak kemana perginya kata-kata
Seolah lenyap ditelan sunyi semesta
Menghilang cepat begitu bibir berucap
Dan telingap pun cukup sekali menangkap
…………majalah “iman”
Kecanggihan ilmu dan tekhnologi pada era sekarang ini telah memberikan berbagai macam kemudahan bagi umat manusia, bermacam informasi yang terjadi di belahan dunia dengan cepat, hampir-hampir tanpa hitungan detik sudah bisa diterima oleh manusia ditempat duduknya, di rumah, tempat kerja, atau mungkin juga di saat ia berada di dalam toilet. Dengan berbagai info yang diakses oleh manusia dan masyarakatnya, mejadikan ia makin cerdas secara intlektual.
Aspek kemanusiannya dalam bidang akal, manusia telah terpenuhi dengan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi, dengannya apapun yang diinginkan oleh manusia bisa terwujud mulai dari hal-hal yang sangat kecil dan sederhana, semacam peniti, hingga yang berskala luar biasa, cloning sperma manusia, dan untuk mengetahui jenis kelamin anak yang masih dalam kandungan, berapa kilo gram beratnya dan kapan ia di lahirkan, yang semula merupakan rahasia Tuhan dan diyakini sedemikian rupa,telah terjawab dengan cepat oleh teknologi, sehingga Niestche seorang filosof Prancis mengatakan “Tuhan telah Mati”. Anggapan ini lahir, karena ia begitu percaya dan mengagungkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dan tidak percaya lagi terhadap agama, karena agama telah terkalahkan dalam menjawab realitas kehidupan. Sehingga aspek spiritual manusia dipertanyakan, sehingga masyarakat cepat masuk angin dan terasa sakit.
Karena unsure-unsur spiritualnya terabaikan oleh sikap-sikap hidup komsumtif, hedonistic, masyarakat cepat sakit.atau sebagaimana yang dikatakan oleh Idi Subandy Ibrahim dalam bukunya Sirna Komunikasi Empatik, kita menjadi masyarakat yang “ mati rasa”. Sehingga kehilangan empati dalam berperilaku,berbahasa dan bersikap. Betapa sering kita mendapatkan informasi tentang korupsi, anak yang membunuh ibu kandungnya, bapak membunuh ankanya dan istri yang membun suaminya, masyarakat yang semula akur damai bisa bersnda gurau di emperan masjid, tapi kini masyarakat itu telah saling bermusuhan, saling mengintip di mana kelemahan satu sama lain untuk saling menjatuhkan di depan public, dan ia merasa bangga telah bisa menghancurkan karir politik lawannya. Saudara menjadi musuh, musuh menjadi saudara, yang abadi adalah kepentingan dan kebutuhan, dalam ideology politik praktis.
Secara tidak sadar, masyarakat telah mewariskan dan melahirkan sebuah generasi yang belajar menghubungkan citra dan informasi kekerasan, penderitaan, dan kemiskinan dengan kesenangan. Karena terus menerus dijejali dengan informasi seperti itu, menjadikan hati kian mengeras dan tumpul, sehingga kehilangan empati terhadap korban, rasa sakit, dan penderitaan pun telah mulai pudar pada yang paling dalam.
……..
Ajaran-ajaran agama kini kembali meninggi ke langit tidak membumi lagi, karena agama sebatas symbol-simbol yang sangat aneh dan tidak bisa ditangkap dan pegang oleh umatnya. Atau mungkin juga ”aku, kamu, kalian” (masyarakat) telah menjadi “Niestche baru” dalam kehidupan bermasyarakat.
Betapa tidak setiap hari jum’at khatib, mengeluarkan kata-kata yang penuh petuah, dan setiap hari minggu pun dinyanyikan lagu-lagu kedamaian di gereja –gereja,begitu juga kata yang bijak dikeluarkan dari balik Vihara dan aktivitas – aktivitas keagamaan di Pura, tapi kini semua itu tidak mampu ditangkap oleh hati nurani, yan menangkapnya hanya teliga,sehingga ia kehilangan makna sebagai mana tersirat di penggalan puisi di atas…..
Dengan mudahnya anggota masyarakat terprovokasi untuk melakukakan pengrusakan terhadap kantor-kantor, gedung-gedung, hanya karena tokoh yang diidolakan tidak lolos menjadi seorang gubernur, bupati, kepala desa, hingga ketua RT. Tidak sebatas pengrusakan fasiitas-pasilitas umum, tetapi sudah saling terror dan menghasut, bahkan sampai saling membunuh. Masyarakat yang damai, aman, yang saling mengembangkan musyawarah, yang anggotanya saling sapa dengan santun kini hanya berada dalam dalam komunitas “ mimpi “.terlihat sekali masyarakat hanya siap menang dan tidak siap untuk kalah, Allah memang maha kuasa dan mengetahui kondisi manusia, sehingga Ia mengeluarkan hak prerogatifnya untuk memilih dan mengangkat RasulNya, tidak bisa dibayangkan kalau diserahkan ke pada manusia,untuk memilih dan mengangkat seorang rasul, kemungkinan besar setiap saat akan terjadi pertupahan darah hanya gara-gara memilih seorang nabi dan rasul.
Zaman yang kini modern betul-betul berada pada masa fatrah, anggota masyarakat menjadi salah kafrah ,masyarakat telah dibiarkan dan membiarkan dirinya berprilaku sewenang-wenang berdasarkan humanismenya, karena ia menganggap segala yang ada bisa ia ciptakan sendiri dan mengendalikannya sendiri, atau meminjam istilah Prof Mastuhu, masyarakat semrawut,tapi menjadi kreatif, kreatif dalam menghasut, kreatif dalam menghina, kreatif untuk menghilangkan nyawa orang lain, tapi masyarakat menjadi hilang kecerdasannya dalam mengembangkan semangat kebersamaannya, saling menegur dengan sopan satun dan kata-kata yang bijak, dan yang tegur karena ada kesalahannya, juga semesti sadar diri atas kekliruan dan kehilafan yang diperbuat,bukan mengambil sikap denagn cara mengerahkan massa untuk menjustifikasi kesalahannya,halsemacam ini terjadi sekarang ini dalam masyarakat yang mudah sekali masuk angina. Bukannya bersama-sama untuk saling gandeng tangan dalam menatap masa depan yang lebih cerah, dalam membangun bangsa,Negara (makro), membangun desanya(mikro).
Adakah solusi damai dari kondisi masyarakat yang mask angin seperti ini ? ataukah dibiarkan begitu saja berjalan apa adanya bak air yang mengalir? Atau akan lahir generasi-generasi baru yang akan mengentaskan semuanya? Tapi mungkinkah generasi baru baru akan mampu merubahnya? Karena generasi yang akan datang juga telah dipersiap menjadi anggota masyarakat yang masuk angin oleh pendidikan yang diwariskan oleh masyarakat sebelumnya….
Sikap-sikap tidak simpatik telah menjadi sebuah rutinitas dalam kehidupan sehari-hari, ditengah kehidupan masyarakat
Wallahu A’lam

2 komentar: