Running teks

Selamat Datang di Blog Pendidikan dan Informasi, Silahkan dibaca, atau download berbagai materi perkuliahan yang saudara butuhkan...

Rabu, 06 Mei 2015

ANALISIS PEMIKIRAN FILOSOFI DAN TEORI PENDIDIKAN POST MODERN



ANALISIS PEMIKIRAN FILOSOFI DAN TEORI PENDIDIKAN POST MODERN
Oleh: Arifmiboy - 14169049

A.    RINGAKSAN MATERI
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya postmodernisme. Pada umumnya yang dianggap sebagai titik tolak lahirnya postmodernisme adalah filsafat Nietzschean, seperti penolakannya terhadap absolutisme filsafat Barat dan sistem pemikiran tunggal. Menurut Sarup (2003: 231-232) postmodernisme adalah gerakan kultural yang semula terjadi di masyarakat Barat tetapi telah menyebar ke seluruh dunia, khususnya dalam bidang seni. Beberapa masalah pokok yang dikaitkan dengan postmodernisme dalam bidang seni, antara lain hilangnya batas-batas sekaligus hierarki antara budaya populer dengan budaya elite, budaya massa dengan budaya tinggi. Dalam karya sastra, misalnya, hilangnya batas-batas yang tegas antara seniman sebagai pencipta dengan pembaca sebagai penerima, bahkan pengarang dianggap sebagai anonimitas.
Menurut Pauline Rosenau (1992) postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme : for begginers, Appignanesi, Garrat, Sardar, dan Curry (1998) mengatakan bahwa postmodernisme menyiratkan pengingkaran, bahwa ia bukan modern lagi. Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar, yaitu:
Ia melawan dan mengaburkan pengertian postmodernisme Ia menyiratkan pengetahuan yang lengkap tentang modernisme yang telah dilampaui oleh zaman baru. Sebuah zaman, zaman apapun, dicirikan lewat bukti perubahan sejarah dalam cara kita melihat, berpikir, dan berbuat. Kita dapat mengenali perubahan ini pada lingkup seni, teori, dan sejarah ekonomi.

B.           BAHASAN
Istilah Postmodernisme sangat membingungkan, bahkan meragukan. Asal usulnya adalah dari wilayah seni : Musik, seni rupa, roman dan novel, drama, fotrografi, arsitektur. Dan dari situ merembet menjadi istilah mode yang dipakai oleh beberapa wakil dari beberapa ilmu. Dan akhirnya istilah itu oleh filosof  Prancis, Jean-Francois Lyotard, dimasukkan ke dalam kawasan filsafat dan sejak itu diperjualbelikan sebagai sebuah “isme” baru.
Istilah “Postmodernisme” membingungkan karena memberikan kesan bahwa kita berhadapan dengan sebuah aliran atau paham tertentu, seperti Marxisme, eksistensialisme, kritisisme, idealisme, dan lain-lain. Padahal para pemakai label itu biasanya tidak berbicara tentang “postmodernisme”, melainkan tentang “pemikiran pascamodern”. Misalnya Rorty atau Derrida, amat beraneka ragam cara pemikirannya. Di Indonesia, sesuai kebiasaan, kita malah malas mengungkapkan seluruh kata “postmodernisme” dan menggantikannya dengan “posmo”. Sesuai dengan gaya berfikir mitologis dan parsial dimana yang penting simbolnya saja, bukan apa yang sebenarnya dimaksud.
Padahal pemikiran “posmo” itu ada banyak dan tidak ada kesatuan paham. Namun benar juga, ada sesuatu yang mempersatukan pendekatan-pendekatan itu, atau lebih tepatnya ada dalam filsafat modern salah satu kecenderungan yang muncul dalam bentuk-bentuk berbeda, namun ada kesamaan wujudnya, dan barangkali itulah kesamaan segala macam gaya berfikir yang ditemukan unsur “posmo”- nya itu.
Dapat dikatakan bahwa “postmodernisme” lebih merupakan sebuah suasana, sebuah naluri, sebuah kecenderungan daripada sebuah pemikiran eksplisit. Kecenderungan itu lalu memang mendapat ekspresi melalui pelbagai sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lian. Adalah jasa istilah “postmodernisme” bahwa dengan demikian kita memperoleh sebuah payung konseptual untuk melihat kesamaan di antara mereka itu yang umumnya justru mencolok ketidaksanaannya.
Untuk menghindari kebingungan yang lebih lanjut, maka penulis akan membahas postmodernisme secara lebih gamblang dalam pembahasan makalah ini. Setidaknya ada tiga unsur atau elemen yang akan dibahas lebih rinci dalam pembahasan nanti. Yang pertama adalah mengenai sejarah ataupun konsep dasar dari postmodernisme itu sendiri. Yang kedua adalah mengenai ciri atau indikator daripada postmodernisme. Serta yang ketiga adalah mengenani fenomena faktual yang terkait dengan postmodernisme.

SEJARAH DAN KONSEP DASAR POSTMODERNISME
Miletos, kota kecil di gugusan kepulauan Yunani abad ke-6 SM adalah tempat bermulanya cerita besar tentang penaklukan alam oleh manusia. Di kota itulah sebermula runtuhnya mitos-mitos arkhaik tentang alam yang berupa dongeng, fabel ataupun kepercayaan. Sejak saat itu manusia serta-merta memberontak dari kungkungan kebudayaan mitologis dan berusaha menggunakan akalnya untuk menjelaskan dunia.
Sejarah penaklukan alam dibawah tatapan akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates, filsuf besar Yunani, mempertegas usaha ini dengan semboyannya yang sangat terkenal, Kenalilah dirimu sendiri. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya menggemakan pemikiran sang guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep manusia. Menurut Plato, manusia terdiri dari tiga tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia), kehendak (thymos) dan rasio (logos). Rasio adalah tingkatan tertinggi, sekaligus mengatur dan melingkupi fungsi-fungsi yang lain. Pandangan Plato tentang manusia ini membawanya pada konsepsi negara ideal yang analog dengan tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog dengan rasio). Kedua, para prajurit (analog dengan kehendak). Ketiga, para petani dan tukang (analog dengan tubuh) (Harun Hadiwijono, 1994: 43-44). Dengan konsepsi seperti ini Plato memperteguh keyakinan subjektivitas manusia dengan konstruksi kebudayaan (negara) yang berpijak pada rasio.
Sejarah filsafat berikutnya bergulir sampai pada satu titik yang memiliki makna penting bagi kelahiran era modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir sebagai jawaban terhadap kebekuan pemikiran abad pertengahan. Renaisans yang berarti kelahiran kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama yang beku selama abad pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat dan martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Makna penting Renaisans dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya sebagai tempat persemaian benih Pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern.
Seorang filsuf besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene Descartes, Bapak Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern. Dengan mengadopsi dan mensintesakan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya, Descartes berambisi membangun metode pengetahuan yang berlaku untuk setiap bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui strategi kesangsian metodis. Dengan meragukan segala sesuatu, Descartes ingin menemukan adanya hal yang tetap yang tidak dapat diragukan. Itulah kepastian bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang segala sesuatu. Rumusan terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum, Cogito ergo sum, Aku berpikir maka aku ada. Dengan diktum ini, rasio sekali lagi diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Sejarah kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua filsuf Jerman, Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.
Sejarah  pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas selanjutnya merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern hadir sebagai kekuatan emansipatoris yang menghantar manusia pada realitas baru. (Awuy, 1995: 41). Sementara itu dalam dunia ilmu dan kebudayaan, modernitas ditandai dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat, penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer, maraknya industri informasi  televisi, koran, iklan, film, internet  berkembangnya konsep nation-state (negara-bangsa), demokratisasi dan pluralisme.
Namun dalam penampilannya yang mutakhir tersebut, modernisme mulai menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya: penuh kontradiksi, ideologis dan justru melahirkan berbagai patologi modernisme. Modernisme inilah yang telah mencapai status hegemonis semenjak kemenangan Amerika dan para sekutunya dalam Perang Dunia II (Ariel Heryanto, 1994: 80), yakni modernisme yang tidak lagi kaya watak seperti saat awal kelahirannya, namun modernisme yang bercorak monoton, positivistik, teknosentris dan rasionalistik; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem produksi.
Unsur-unsur utama modernisme: rasio, ilmu dan antropomorphisme, justru menyebabkan reduksi dan totalisasi hakekat manusia. Memang benar, di satu sisi modernisme telah memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Namun di sisi lain, modernisme juga telah menyebabkan lahirnya berbagai patologi: dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali Perang Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta ekonomi. Berbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran postmodernisme terhadap modernisme.
Jejak-jejak pemikiran yang bernaung di bawah payung postmodernisme dalam banyak bidang kehidupan: seni, sastra, politik, ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan filsafat  sebenarnya  sudah dapat dilacak jauh ke alur sejarah modernisme sendiri. Lahirnya beragam bentuk realitas baru: seni bumi, seni video, sastra marjinal, sastra yang terdiam, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas Kuhn dan pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche, Husserl, Heidegger, hingga Mahzab Frankfrut adalah benih-benih lahirnya pemikiran postmodernisme.
Terutama dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984). Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh  kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy, 1995: 161). Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, seperti dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni  merupakan indikasi lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau menaklukan realitas lain (Lash, 1990: 234).
Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear  yang disebutnya Grand Narrative  telah kehilangan legitimasi (Awuy, 1995: 158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.
Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Ahmad Sahal, 1994: 21). Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.
Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan murni dan pengetahuan ideologis,  Foucault menyatakan pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan. Selanjutnya menurut Foucault kekuasaan tidaklah seperti yang dipahami kaum Weberian atau Marxian. Kaum Weberian memahami kekuasaan sebagai kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Sementara kaum Marxian memahami kekuasaan sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk menindas kelas lain. Secara cerdas Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak memiliki, melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana (Ahmad Sahal, 1994: 17). Pandangan tentang kuasa/pengetahuan yang tidak berpusat, tidak mendominasi dan menyebar ini kemudian membawa Foucault untuk menolak asumsi rasio-kritis yang universal ala Kantian. Baginya rasio tidak universal, karena seperti disuarakan Charles Baudelaire, seorang penyair Perancis  ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni: ironi. Karenanya Foucault sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang universal. Ia memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tak jamak semisal penjara, orang gila, rumah sakit, barak-barak tentara, pabrik, seks, pasien dan kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan dengan pilihan ini, sekali lagi Foucault meneguhkan semangat emansipasi kaum tertindas yang telah diawali oleh Lyotard dan Derrida.
Postmodernisme secara umum dikenal sebagai antitesis dari modernisme. Sementara itu modernisme itu sendiri diartikan oleh Lyotard (Berstens, 1996) sebagai proyek intelektual dalam sejarah dan kebudayaan Barat yang mencari kesatuan di bawah bimbingan suatu ide pokok yang terarah kepada kemajuan dimana “Aufklarung” (masa pencerahan) pada abad ke-18 menandai proyek besar ini.
Sebagai gerakan pemikiran, postmodernisme ‘berhasil’ menawarkan opini, melontarkan apresiasi dan menikamkan kritik yang tajam terhadap wacana modernitas dan kapitalisme (global) mutakhir. Di tengah kemapanan dan pesona yang ditawarkan oleh proyek modernisasi dengan rasionalitasnya, postmodernisme justru ditampilkan dengan sejumlah evaluasi kritis dan tajam terhadap impian-impian masyarakat modern. Kritik tersebut, tidak saja mengagetkan dunia publik intelektualitas Barat yang sejak beberapa abad terbuaikan oleh modernisme yang membius melalui ciptaan sains dan teknologinya.
Istilah postmodernisme diketahui muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern. Federico de Onis sekitar tahun 1930-an menggunakan dalam sebuah karyanya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari modernisme. Kemudian di bidang historiografi digunakan oleh Arnold Toynbee dalam “A Study of History” tahun 1947, dan sekitar tahun 1970, Ilhab Hasan menerapkan istilah ini dalam dunia seni dan arsitektur. Pada akhirnya istilah postmodernisme menjadi lebih popular manakala digunakan oleh para seniman, pelukis dan kritikus.
Sehingga demikian ada banyak ragam dan terminologi dan makna dalam istilah postmodernisme tergantung pada wilayah pendekatan yang berbeda sebagai berikut :
(1) “Kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersamaan dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan” (Daniel Bell dalam “Beyond Modernism; Beyond Self”)
(2) “Logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya” (Frederic Jameson dalam “New Left Review” tahun 1984)
Pada perkembangan selanjutnya, istilah postmodernisme dilembagakan dalam konstelasi filsafat oleh Francois Lyotard dalam bukunya “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge” tahun 1984. Lyotard menjelaskan bahwa akibat pengaruh teknologi informasi, maka prinsip kesatuan ontologis yang selama ini mendasari ide dasar filsafat modern sudah tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer.
Maka itu prinsip homologi (kesatuan ontologis) harus didelegitimasi oleh paralogi (pluralisme) dengan tujuan agar kekuasaan, termasuk kekuasaan oleh ilmu pengetahuan, tidak lagi jatuh pada sistem totaliter yang biasanya bersifat hegemonik dan pro status-quo atau meminjam terminologi Ibrahim Ali Fauzi bahwa postmodernisme adalah sebuah gerakan global renaissans atas renaissans yang diartikan ketidakpercayaan atas segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang men-totalisasi seperti Hegelianisme, Kapitalisme, Liberalisme, Marxisme, Nasionalisme, Komunisme, Sosialisme dan lainnya.
Cukup banyak peristiwa yang bisa dikumpulkan akibat ide narasi besar (meta-narasi) yang menandai kegagalan dari modernisme seperti kekejaman pasukan Nazi pada perang dunia kedua yang menandai kegagalan nasionalisme. Pemberontakan kaum buruh terhadap partai komunis yang terjadi di Berlin (1953), Budapest (1956) dan Polandia (1980) yang menunjukkan betapa komunisme sebagai ideologi totaliter mengandung banyak kotradiksi, yaitu bahwa pekerja memberontak terhadap partai yang memperjuangkan nasib mereka sendiri. Dan banyak kejadian lainnya yang bisa disebutkan termasuk aneksasi neo-liberalisme dan neo-kapitalisme Amerika Serikat terhadap Irak.
Dalam konteks ini tidak berlebihan apabila janji modernitas, yang dibangun oleh rasionalitas, untuk mencapai emansipasi manusia dari kemiskinan, kebodohan, prasangka dan tiadanya rasa aman dianggap tidak masuk akal. Modernisme disamping menciptakan kemajuan teknologi juga menciptakan totalitarianisme, pembunuhan yang lebih massif (genosida) dan aneksasi kolonialisme yang membabi buta. Sehingga demikian, Lyotard menolak segala macam bentuk meta-narasi, yang ada bukan kebenaran tetapi kebenaran-kebenaran yaitu kebenaran majemuk dan lokal (mini-narasi).

INDIKATOR POSTMODERNISME
Akbar S. Ahmed dalam bukunya Posmodernisme dan Islam menyebutkan delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran. Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi. Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan. Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu. Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”. Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi. Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif. Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks.
Sedangkan menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa, postmodernisme menganggap modernisme telah gagal dalam beberapa hal penting antara lain :
Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian. Ketiga, ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam keyakinan yang sesungguhnya tidak berdasar, bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya. Ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dan Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu.
Postmodernisme muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain (the other) yang berada di luar wacana hegemoni.
Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”)
Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wavana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya, Postmodenisme menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah akibat keteledoran ekonomi modern dalam beberapa hal, yaitu:
  1. Kapitalisme modern terlalu tergantung pada otoritas pada teoretisi sosial-ekonomi seperti Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes, Samuelson, dan lain-lain yang menciptakan postulasi teoritis untuk secara sewenang-wenang merancang skenario bagi berlangsungnya prinsip kapitalisme;
  2. Modernisme memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika menganggap sejarah sebagai suatu gerakan linear menuju suatu titik yang sudah pasti. Postmodenisme muncul dengan gagasan bahwa sejarah merupakan suatu genealogi, yakni proses yang polivalen, dan
  3. Erat kaitannya dengan kekeliruan dalam menginterpretasi perkembangan sejarah, ekonomi modern cenderung untuk hanya meperhitungkan aspek-aspek noble material dan mengesampingkan vulgar material sehingga berbagai upaya penyelesaian krisis seringkali justru berubah menjadi pelecehan. Inkonsistensi yang terjadi adalah akibat rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Postmodernisme bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu kebulatan yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran yang meliputi Marxisme Barat, struktualisme Prancis, nihilisme, etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika.

Heterogenitas inilah yang barangkali menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.

CIRI-CIRI POSTMODERNISME
Terdapat delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu:
1.    Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran. 
2.    Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
3.    Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
4.    Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
5.    Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.
6.    Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
7.    Era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.
8.    Bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks

TOKOH-TOKOH POSTMODERNISME
Tokoh-tokoh memegang peran penting sebab tokohlah, sebagai subyek, yang bertugas untuk mengakumulasikan konsep-konsep sehingga menjadi teori. Setiap tokoh adalah mata rantai terakhir dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuam demi kemajuan umat manusia secara keseluruhan. Tokoh – tokoh periode postmodernisme antara lain:
1.    Charles Sanders Peirce
Peirce lahir di USA ( 1839-1914). Sebagai ahli semiotika, logika, dan matematika, Pairce lahir sezaman dengan saussure tetapi Peirce melangkah  lebih jauh daripada Saussure dengan latar belakang sebagai ahli filsafat, ia dapat melihat dunia di luar struktur sebagai struktur bermakna. Berbeda dengan Saussure dengan konsep diadik, Peirce menawarkan konsep triadik sehingga terjadi jeda antara oposisi biner. Pierce jugalah yang mengembangkan teori umum tanda-tanda, sebaliknya Saussure lebih banyak terlibat dalam teori linguistik umum.
Pada dasarnya Peirce tidak banyak mempermasalahkan estetika dalam tulisan-tulisannya. Akan tetapi teori-teorinya mengenai tanda menjadi dasar pembicaran estetika generasi berikutnya. Menurutnya makana tanda yang sesungguhnya adalah mengemukakan sesuatu. Tanda harus diinterpretasikan agar dari tanda yang orisinil berkembang tanda-tanda yang baru. Tanda selalu terikat dengan sistem budaya, tanda-tanda tidak bersifat konvensional, dipahami menurut perjanjian, tidak ada tanda yang bebas konteks. Tanda selalu bersifat plural, tanda-tanda hanya berfungsi kaitannya denga tanda lain.
2.    Roman Osipocich Jakobson
Jakobson adalah seorang linguist, ahli sastra, dan semiotikus yang lahir di Rusia (1896-1982). Pusat perhatiannya adalah integrasi bahasa dan sastra sesuai dengan tulisannya yang berjudul “Linguistics and Poetics”. Jakobson melukisakan antar hubungan tersebut dengan mensejajarkan enam faktor bahasa dan enam fungsi bahasa yang disebut poetic function of lenguage.
Enam faktor bahasa, yaitu:
                                                Contecxt
            Addresser                    Message                      Addressee
                                                Contact                                               
                                                Code
            Enam fungsi bahasa, yaitu:
                                                Referential
            Emotive                       Poetic                          Conative
                                                Phatic
                                                Metalingual
3.    Jan Mukarovsky
Mukarovsky lahir di Bohemia(1891-1975). Sebagai pengikut strukturalisme Praha, ia kemudian mengalami pergeseran perhatian dari struktur ke arah tanggapan pembaca. Aliran inilah yang disebut strukturalisme dinamik. Sebagai pengikut kelompok formalis, ia memandang bahwa aspek estetis dihasilkan melalui fungsi puitika bahasa, seperti deotomatisasi, membuat aneh, penyimpangan, dan pembongkaran norma-norma lainnya. Meskipun demikian, ia melangkah lebih jauh, aspek estetika melalui karya seni sebagai tanda, karya sastra sebagai fakta transindividual. Singkatnya, karya sastra harus dipahami dalam kerangka konteks sosial, aspek estetis terikat dengan entitas sosial tertentu.
            Peran penting Mukarovsky adalah kemampuannya untuk menunjukkan dinamika antara totalitas karya dengan totalitas pembaca sebagai penanggap. Ia membawa karya sastra sebagai dunia yang otonom tetapi selalu dalam kaitannya dengan tanggapan pembaca yang berubah-ubah. Menurutnya, sebagai struktur dinamik, karya sastra selalu baerada dalam tegangan antara penulis, pembaca, kenyataan, dan karya itu sendiri
4.    Hans Robert Jauss
Jauss lahir di Jerman. ahli sastra dan kebudayaan abad pertengahan, Jauss ingin memperbaharui cara-cara lama yang semata-mata mendiskripsikan aspek-aspek kesejarahan sehingga menjadi lebih bersifat hermeneuitas. Tetapi di pihak lain, ia juga ingin memperbaharui kelemahan kelompok formalis yang semata-mata bersifat estetis dan kelompok Marxis yang semata-mata bersifat kenyataan.
Tujuan pokok Jauss adalah memebongkar kecenderungan sejarah sastra tradisional yang dianggap bersifat universal teleologis, sejarah sastra yang lebih banyak berkaitan dengan sejarah nasional, sejarah umum, dan rangkaian periode. Konsekuensi loguisnya adalah keterlibatan pembaca. Untuk mempertegas peranan pembaca ini, Jauss mengintroduksi konsep horison harapan (Erwatungshorizont). Horison harapan mengandaikan harapan pembaca, cakrawala pembaca, citra yang timbul sebagai akibat proses pembacaan terdahulu. Jadi, nilai sebuah karya, aspek-aspek estetis yang ditimbulkannya bergantung dari hubungan antara unsur-unsur karya dengan horison harapan pembaca.
5.    Jurij Mikhailovich Lotman
Lotman lahir di rusia (1922). Lotman (Fokkema-Kunne Ibsch, 1977: 2) adalah seorang ahli semiotika struktural,  ahli Rusia abad XVII dan XIX. Konsep dasar yang dikemukakan adalah peranan bahasa sebagai sistem model pertama (ein primares modellbildendens system) (PMS) sekaligus sebagai sistem model kedua (ein sekundares modellbildendes system) (SMS), seperti sastra, film, seni, musik, agama, dan mitos. Dalam sejarah sastra barat, Lotman (1977: 24-25) juga membedakan antara estetika persamaan atau identitas (the aesthetic of identy) dengan estetika pertentangan atau oposisi (the aesthetic of opposition). Estetika pertama merupakan ciri khas foklor atau karya-karya sastra lama. Sedangkan estetika yang kedua merupakan ciri karya-karya romantisme, realisme, garda depan, dan karya-karya sastra modern.menurut Lotman (Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1977: 41-43), karya sastra yang bermutu tinggi justru karya-karya yang menawarkan banyak entropy, kaya dengan ketidakterdugaan yang tinggi. Aspek estetis dicapai dengan adanya kaitan erat antara aspek semantis dengan aspek formal teks, sehingga dalam bahasa sehari-hari yang tidak memiliki makna menjadi bermakna.
6.    Roland Barthes
Barthes adalah seorang ahli semiotika, kritikus sastra, khususnya naratologi. Barthes lahir di Cherbourg, Perancis (1915-1980). Barhes dan dengan pengikutnya menolak keras pandangan tradisional yang menganggap pengarang sebagai asal-usul tunggal karya seni. Jenis paradigma ini telah dikemukakan oleh kelompok strukturalis, makna karya sastra terletak dalam struktur dengan kualitas regulasinya. Melalui Bartheskarya sastra mempunyai kekuatan baru, memperoleh kebebasan khususnya penafsiran pembaca. Meskipun demikian kenikmatan dan kebahagiaan dalam membaca teks mempunyai arti yang lebih luas, dan dengan sendirinya lebih etis dan estetis. Konsep lain yang dikemukakan adalah teks sebagai readerly (lisible) dan writterly (rewritten/scriptible). Teks tidak semata-mata untuk dibaca, tetapi juga untuk ditulis (kembali). Dalam entensitas readerly penulislah yang aktif, sedangkan pembaca bersifat pasif. Sebaliknya dalam writterly, dengan anggapan bahwa penulis berada dalam kontruksi anonimitas, maka pembacalah yang bersifat aktif, melalui aktivitas menulis.
7.    Umberto Eco
Eco adalah seorang semiotikus, kritikus, novelis, dan jurnalis, lahir di Piedmot, Italia (1932). Menurut Eco (1979: 7), semiotika dikaitkan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Menurut Eco (1979: 182-183) semua bidang dapat dikenal sebagai kode sejauh mengungkapkan fungsi estetik setiap unsurnya. Sama dengan Peirce, esensi tanda adalah kesanggupannya dalam mewakili suatu tanda. Setiap kode memiliki konteks, sebagai konteks sosiokultural. Oleh karena itulah, teori tanda harus mampu menjelaskan mengapa sebuah tanda memiliki banyak makna dan akhirnya bagaimana makna-makna baru bisa terbentuk. Dalam hubungan inilah dibedakan menjadi dua unsur, pertama, unsur yang dapat disesuaikan atau diramalkan oleh kode, seperti simbol dalam pengertian Peirce. Kedua, adalah unsur yang tidak bisa disesuaikan dengan mudah, misalnya ikon dalam pengertian Peirce.

C.    TANGGAPAN
Postmodernisme pada dasarnya mempelajari tanda pada bahasa, periode postmodern lebih banyak memberikan perhatian pada tanda-tanda, sebagai estetika semiotis, dengan pertimbangan bahwa kualitas estetis bersumber dari dan dihasilkan melalui pemahaman terhadap sistem tanda. Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar.
Jika kita melihat dan menelaah konteks politik hari ini, masalah postmoderrnisme juga kerap muncul. Modernisme dengan konsep universalismenya menghendaaki semua Negara menerapkan sistem demokrasi. Namun demokrasi yang diperjualbelikan adalah demokrasi ala Amerika yang konon katanya paling demokratis. Amerika serikat juga didaulat, jika tidak pantas disebut mendaulatkan diri, sebagai Negara penjunjung tinggi HAM.
Untuk dapat menjunjung tinggi HAM seperti Amerika Serikat, maka sistem demokrasi harus dianut terlebuh dahulu. Jadi, Negara manapun yang ingin menghargai Hak Azasi warganya harus menerapkan sistem demokrasi ala Amerika Serikat. Sebab Amerika Serikat lagi-lagi dianggap sebagai Negara terdepan pengimplementasi demokrasi. Hal tersebut kemudian lebih ditekankan lagi dalam peraturan lembaga internasional (United Nation). Semua Negara yang menjadi anggota United nation diwajibkan untuk menjunjung tinggi HAM.
 Tidak ada masalah jika Negara anggota United Nation diwajibkan menjunjung tinggi HAM. Yang menjadi masalah adalah ketika demokrasi dianggap satu-satunya jalan untuk menjunjung tinggi HAM. Secara tidak langsung, mereka telah menafikan sistem lain seperti Kerajaan Khilafah dan sistem politik lokal. Oleh karena demokrasi merupakan satu-satunya jalan, maka Negara yang ingin menjunjung tinggi HAM harus pula menganut sistem demokrasi. Barang siapa (negara) yang tidak mau menjunjung tinggi HAM (menganut demokrasi), maka akan dikenai sanksi oleh lembaga tertinggi dunia tersebut. Sanksi dapat beraneka ragam, mulai dari embargo sampai penjajahan yang berkedok penyelamatan umat manusia.
Para postmodernis melihat proyek pendemokrasian tersebut sebagai akibat dari modernisme. Sebab dalam modernism terdapat satu cirri penting, yaitu universalisme dalam segala bidang. Selain universalisme, ada juga karakter penting dari modernism yaitu Oposisi Biner (jika A benar, maka B pasti salah). Modernism beranggapan bahwa demokrasi Amerika Serikat sudah benar, maka sesuai dengan prinsip oposisi biner, semua sistem diluar itu adalah salah.
Postmodernisme lahir untuk mengkritik semua ambisi dan proyek mahabesar modernism tersebut. Universalisme yang ditawarkan oleh modernism tidak mungkin bias tercapai, sebab dunia ini dipenuhi oleh perbedaan dan keanekaragaman baik dalam hal ekonomi, social, politik  dan terlebih lagi budaya. Merupakan sebuah kemustahilan jika kita ingin membuat semua Negara yang penuh dengan warna dan perbedaan tersebut hidup dengan satu cara yang sama.
Berkaitan dengan masalah HAM juga demikian halnya. Amerika serikat mengaku sebagai penjunjung tinggi Ham, tetapi mereka pulalah yang membunuh puluhan bahkan ratusan ribu rakyat sipil di Irak. Amerika pulalah yang membuat dan menghidupkan penjara Guantanamo, yang notabene pelanggaran besar terhadap HAM. Dengan label menjunjung tinggi HAM pulalah, amerika serikat kerap melakukan genosida (pembunuhan secara massal). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dimana HAM yang dijunjung tinggi tersebut.
Selain hal tersebut diatas, satu karakter penting modernism yang dikritik oleh postmodernisme adalah Oposisi biner. Tidak ada yang salah dan benar dalam dunia ini. Akan tetapi semuanya memiliki kebenaran masing-masing. Contoh yang paling sering diangkat oleh para postmodernis adalah masalah budaya dan agama. Semua budaya yang terdapat dimuka bumi ini memiliki cerita dan makna masing-masing. Demikian juga halnya dengan agama, semua punya kebenaran tersendiri. Tidak ada agama yang salah dan agama yang benar, namun semua agama memiliki dan membawa kebenarannya.
Demikian jugalah pula dengan sistem politik yang akan dianut oleh setiap Negara. Demokrasi yang dianut oleh Amerika serikat mempunyai kebenaran, tetapi sistem kerajaan yang dianut oleh Inggris juga mempunyai kebenarannya sendiri. Begitu juga dengan sistem politik di Negara atau daerah lain (politik local / identitas misalnya) mempunyai kebenaran tersendiri lagi.
Untuk mengatasi semua perbedaan dan banyaknya kebenaran yang ada tersebut. Maka postmodernisme menawarkan satu prinsip baru, yaitu Paralogi. Bahwa semua bias hidup dalam keberagaman, yang dibingkai dalam prinsip Multikulturalisme. Atau jika kita melihat Negara Indonesia misalnya, ada istilah Bhineka Tungggal Ika (walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua).
Istilah Postmodernisme, sulit untuk diberi batasan pengertian yang pasti. Dibandingkan dengan “isme-isme” lain, “Postmodernisme” relatif umurnya masih amat pendek, dan sosoknya juga masih samar. Faham ini mulai dikenal di Indonesia dan cukup ramai diperbincangkan di media massa dan di beberapa seminar, baru pada awal tahun 1990-an. Kedudukannya masih kontroversial. Ada yang mendukungnya dengan penuh semangat dan menyebarluaskannya. Ada yang menolaknya dan menganggapnya sebagai virus yang berbahaya. Ada pula yang tetap apatis dan menganggapnya tidak penting untuk diperhatikan (J. Sudarminta, 2010).
Post-modernism adalah suatu era yang mencoba menutupi kekurangan-kekurangan era modern. Meskipun harus diakui tidak sedikit muncul konsepsi yang bersifat kontrovesrsial. Salah satu key word atau diktum kalangan post-modernis adalah all is difference, suatu diktum yang sangat kontradiktif dengan proyek modernisme, yaitu universe. Konsepsi all is difference dimaksudkan bahwa tidak ada unifikasi realitas obyektif dan tidak ada pusat dunia yang pasti; yang ada adalah perbedaan pandangan dan perspektif. Begitu juga semangat yang dibangun tidak lagi semangat optimisme, tetapi yang dibangun adalah semangat pesimisme.
Post-modernisme secara kontradiktif menolak asumsi-asumsi modernisme di dunia pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan kebenaran dan rasionalisme. Modernisme menganggap bahwa kebenaran sejati didapat dari rasionalisasi murni. Tetapi pendapat ini, di era post-modern, dirubah menjadi kebenaran tidak saja terbatas pada dimensi rasionalistik saja. Ini artinya post-modernisme menolak anggapan bahwa intelektual manusia merupakan satu-satunya penentu kebenaran. Tetapi di sana ada bagian-bagian yang dianggap lebih valid disamping rasio yakni emosi dan intuisi.
Menurut Hutchinson, FP (1996) dalam Sastrapratedja (2009 : 14) bahwa diskursus postmodern menyentuh pula pendidikan. Diskursus postmodernis akan mempertanyakan berbagai kecenderungan masa kini di bidang pendidikan: Pendidikan atas dasar proyek modernitas lebih menyadarkan diri pada rasio instrumental, sehingga penguasaan teknologis disamakan dengan perkembangan manusiawi. Sebagaimana dikatakan E. Boulding, akibat dari pendekatan yang terpaku pada teknologi sangat terasa secara luas dalam sistim pendidikan masyarakat industrial, yang tidak menyisakan tempat bagi imaginasi mental, yang menjadi ciri berkembangnya peradaban besar . Pembelaran sains dan teknologi yang berdasarkan rasio instrumental itumempersempit gambaran masa depan.
I.Prigogine dalam from Being to becoming : Time and Complexity in the Physical Science mengatakan, “abad kita adalah suatu abad eksplorasi : bentuk baru seni, musik, keusestraan dan bentuk baru sains. Dewasa ini menjelang akhir abad ini, kita tak dapat mempridiksikan kemana babak baru sejarah manusia akan membawa kita, tetapi apa yang pasti adalah bahwa babakan sejarah baru ini telah melahirkan suatu dialog baru antara alam dan kemanusiaan. Jadi Postmodernisme mengajak kita untuk tidak terpaku pada dan memaksakan “metanarasi”, paradigma ilmu pengetahuan yang tunggal dan abadi (Hutchinson dalam Sastrapratedja, 2009).
Lebih lanjut dikatakannya di dalam banyak sekolah kita, matematika dan berbagai ilmu fisika dan biologoi disajikan sebagai seperangkat pengetahuan dan bukan sebagai cara untuk secara kritis menafsirkan kecenderungan empiris dan megeksplorasi berbagai alternatif. Pendidikan berperan membuka imaginasi seluas mungkin pada peserta didik. Sekolah harus berpartisipasi dalam mempermasalahkan makna sains dan teknologi yang berabad-abad diterima. (Sastrapratedja, 2009)
Menurut Nurani Soyomukti (2010 : 454) menyatakan Postmodernisme adalah gerakan pemikiran dan filsafat baru yang pengaruhnya dalam teori dan praktik pendidikan cukup besar. Alex Callinicos dalam bukunya “Againts Postmodernism menggambarkan dengan baik bagaimana postmodernism meluas dan bagaimana cara pandangnya menyeruak dalam berbagai bidang termasuk bidang pendidikan. Kaum postmodernis yang anti universalitas dan anti objektivitas menganggap tiap individu atau komunitas atas nama keberagaman dan keunikan budaya masing-masing dibiarkan menafsirkan makna dari ketidaktauan akan gambaran riil tentang dunia yang terus berkembang. Pemikiran Postmodernisme, sadar atau tidak, telah diterima oleh masyarakat kita khususnya kaum terpelajar. Bahkan pemikiran ideologisnya juga merambah dan meluas, merasuki cara berpikir masyarakat kita. Di Indonesia kehadiran postmodernism telah menghadirkan diskusi yang panjang, baik yang pro maupun yang kontra namun perdebat tersebut terlalu meluas sehingga tidak memperhatikan dan mendalami konteks sosial dan institusional. Akibatnya banyak persoalan yang mendasar belum dapat dipecahkan. Postmodernisme hanya sejenis eksperimen intelektual yang kenes tidak lebih dari teori yang bersandar pada permainan bahasa (language game) yang justru membuat kalangan terpelajar lupa pada realitas penindasan yang membutuhkan keyakinan filsafat yang mampu mengubah secara mendasar kapitalisme modern yang mengglobal.
Dalam proses pembelajaran, tentu kita tidak akan menekankan cara pandang universal dan menotalitaskan suatu gejala agar anak-anak mudah memahami, agar anak didik memiliki ukuran dan patokan dalam menilai realitas kehidupanya. Anak didik harus mengenal alam yang sifatnya material (konkrit, objektif) dengan gejala-gejala yang universal. Anak didik harus mengenal bagaimana hubungan sosial berjalan dan apakah hubungan-hubungan itu sudah sesuuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Kemanusiaan adalah patokan dan dapat diukur, hidup tidak mengalir seperti kotoran manusia di sungai yang kotor yang membuat orang bebas mengikutinya. Dengan percaya kebenaran, generasi kita tahu mana yang salah dan tahu bagaimana yang salah dan tidak manusiawi harus diubah.
Tujuan pendidikan adalah agar generasi kita mampu mengenai, mempelajari kenyataan ini, dan mampu mengubahnya. Tanpa pengetahuan yang objektif berarti akan terjadimanipulasi terhadap realitas. Tanpa itu yang akan lahir adalah generasi cuek, permisif,malas dan mengikutimaknanya sendiri. Padahal otonomi makna adalah jitos karena tidak tercipta dengan sendirinya.  Postmodernisme memiliki asumsi yang hampir sama dengan pendidikan liberalis, yaitu menekankan individualisme dengan menganggap bahwa setiap individu memiliki makna yang berbeda-beda. Karenanya hal itu membawa konsekwensi dalam dunia pendidikan antara lain :
a.    Seluruh kegiatan belajar mengajar bersifat relatif. Pengalaman personal melahirkan pengetahuan personal, dan seluruh pengetahuan dengan demikian merupakan keluaran dari pengalaman/perilaku personal sehubungan dengan sejumlah kondisi objektif tertentu. Inilah prinsip relativitasme psikologis.
b.    Begitu subjektivitas (yakni sebuah rasa kesadaran personal yang diniatkan, yang semakin berkembang ke arah sebuah sistem diri yang mekar secara penuh atau disebut juga kepribadian), meuncul dari proses-proses perkembangan personal, seluruh tindakan belajar yang punya arti penting cenderung untuk bersifat subjektif. Artinya ia sebagian besar diatur oleh yang volisional dan karenanya merupakan perhatian yang bersifat pilih-pilih atau selektif (Landasan subjektivisme).
c.     Hampir mirip kalangan eksistesialis, subjektivitas bertindak sesuai dengan kehendak (dengan mencari perujudan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran personal). Kehendak itu (dalam keadaan apapun) berfungsi melalui pilihan, yakni identifikasi daya tangkap tentang makna tertentu di antara makna yang secara hipotesis memiliki kemungkinan di dalam keadaan-keadaan itu.
d.    Secara umum individu yang secara eksistensial otentik adalah orang yang bernafsu memiliki komitmen terhadap sebuah sistim nilai (nilai/kehendak) yang dirumuskan dengan baik dan yang secara kognitif memiliki perlengkapan. Disisi lain kaum eksistensialis tampaknya secara mendasar terserap dalam sebuah gaya hidup yang mana individu didorong untuk memperdalam konflik dengan cara menekankan kondisi-kondisi-keadaan yang terang/jernih secara eksistensialis, komitmen terhadap penyelesaian aktif atas persoalan-persoalan yang besar dan luas serta intelektualitas yang dipandang sebagai hal-hal yang perlu bagi penciptaan sekaligus penyelesaian masalah ketidak-bermaknaan.
e.    Kaum postmodernisme sangat peduli pada problem-problem dan pemecahan masalah. Namun mereka lebih condong melihat problem-problem sebagai kesempatan-kesempatan untuk menjadi sepenuhnya hidup(yakni untuk menjadi sadar secara aktif), dan bukan sebagai kesulitan-kesulitan sementara yang ditaklukan.
Postmodernisme menginginkan proses pendidikan yang menyenangkan dan membebaskan. Akan tetapi pembebasan bukanlah cita-cita dari proses pendidikan yang dijalankan secara terencana, komprehensif, dan holistik sebagai upaya yang bertujuan mengarahkan proses pendidikan sebagai pencerahan dan penyadaran agar peserta didik dan seluruh elemen pembelajaran (termasuk guru) dapat diarahkan pada perjuangan yang lebih nasionalistik dan melawan kontradiksi pokok yang menjadi pembelenggu kehidupan manusia. Hal ini karena postmodernisme adalah filsafat yang tidak menyukai totalitas dan gerakan besar untuk menghadapi persoalan besar.
Cara pandang postmodernisme terhadap tujuan pendidikan adalah bahwa tujuan pendidikan bukanlah mengubah realitas, melainkan mencari makna atau mengubah makna tiap-tiap murid, mungkin juga guru. Padahal, kita tahu makna yang dianggap menyenangkan atau baik bagi murid belum tentu hal itu sesuai dengan tujuan pendidikan. Misalnya, murid sangat merasakan makna hidup ketika dia menghindar dari jam pelajaran bahasa Inggris karena selain gurunya menjengkelkan perlajaran ini juga dianggap paling sulit. Bukankah makna semacam ini bukan hanya harus dijauhkan dari murid tersebut, melainkan juga harus dienyahkan dari dunia pendidikan.
Relevansi kririk kultural postmodernisme terhadap pendidikan juga membawa dampak terhadap munculnya kesadaran akan keanegaraman budaya yang berkembang dalam masyarakat dan satuan pendidikan (sekolah) sebab peserta didik yang hadir disekolah merupakan perwakilan dari masyarakat masa depan dan sekolah sendiri merupakan miniatur dari lingkungan masyarakat. Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan di sekolah harus mengakomdir kepentingan perbedaan budaya sebab budaya yang bervariasi bisa melahirkan situasi baru terhadap kerukunan kehidupan peserta didik bilan dikelola dengan baik. Sehingga munculnya kritik kultur postmodernisme telah memberikan nuasan baru bagi berkembangnya saling memahami keberagaman antara peserta didik di sekolah dan di lingkungan masyarakat.
Salah satu yang sedang berkembang sekarang ini dan ruang pendidikan kita adalah munculnya konsep pendidikan multikultural yang dapat dikatakan reaksi atau kritik terhadap situasi dan kondisi keberagaman yang belum sepenuhnya diterima sebagai sesuatu yang dapat memberikan atmosfir kebebasan bagi peserta didik tanpa dibatasai oleh budaya yang berbeda satu dengan lainnya.
Diskursus postmodernis menyatakan bahwa identitas nasional tak dapat lagi ditulis melalui kacamata keseragaman budaya atau pemaksaan lewat diskursus asimilasi. Suatu budaya postmodernis telah muncul dan ditandai oleh kekhususan, perbedaan, kemajemukadan narasi plural. Konsekwensi dari penolakan atas pemaksaan Grand Narative dalah penerimaan multikulturalisme (Sastrapratedja, 2009)
Menurut Sonia Nieto dalam Sastrapratedja (2009 : 14) menyebutkan ada enam aspek critical multicultural education (disebut critical karena multikulturalisme bukanlah multikulturalisme yang tertutup tetapi terbuka bagi kritik dan transformasi. Enam aspek critical multicultural educatian antara lain :
Pertama, Pendidikan multikulturalisme kritis mengakui budaya siswa tanpa menganggap budaya itu sendiri statis. Budaya siswa tidak hanya diakui tetapi mendapat tempat pembahasan dalam kurikulm dan diperkaya dengan pertemuan dengan budaya lainnya atau dengan dunia diluar pengalamannya dengan demikian pedagogi menjadi pedagogi yang liberatif dan transformatif.
Kedua, Pendidikan multikulturalisme kritis menantang pengetahuan hegemonik. Suatu perspektif multikultural yang kritis menuntut bahwa semua pengetahuan diajarkan secara kritis termasuk pengetahuan resmi.
Ketiga, Pendidikan multikulturalisme kritis menuntut refleksi atas pedagogi. Pendidikan multikultural memberikan tantangan bagi guru untuk terus menerus memikirkan kembali apa dan bagaimana yang diajarkan serta situasi macam apa yang diciptakannya. Siswa harus merasa diperhatikan dan dihargai. Pedagogi harus menjadi inovatif dan efektif. Tetapi untukmenjadi efektif juga harus manusiawi. Mengajar nilai-nilai demokratis tidak secara diktatorial, melainkan harus cara demokrasi pula. Mengajarkan nilai-nilai manusiawi hanya efektif kalau dilakukan secara manusiawi pula.
Keempat, Pendidikan multikulturalisme kritis mengajarkan bagaimana membangun rasa harga diri. Tetapi rasa harga diri harus dibangun dalam konteks relasi dengan berbagai kelompoklainnya harga diri takbisa dibangun dengan merendahkan orang lain.
Kelima, Pendidikan multikulturalisme kritis mendorong kebebasan untuk membahas dan mempelajari isu-isu yang kontroversial. Dengan demikian pendidikan multikultural mengaitkan pembelajaran dengan demokrasi.tidak berarti semua masalah bisa dipecahkan tetapi semua berusaha untuk memahami masalah.
Keenam, Pendidikan multikultural bukanlah panacea yaitu obat yang menyelesaikan semua masalah. Akan tetapi pendidikan multikultural dapat menjanjikan transformasi masa depan, keadilan dan persamaan bagi semua kelompok sosial dan budaya.
Diskursus postmodernis adalah suatu refleksi intelektual atas hakiki dan batas modernitas barat. Disamping itu postmodernitas terkait pula dengan globalisasi yang melahirkan budaya hibrida, berkat keterbukaan dan komunikasi antar budaya, pada gilirannya budaya hibrida ini akan melahirkan identitas yang tidak permanen, tetapi terus menerus dikonstruksikan. Oleh karena itu pendidikan haruslah menjadi border intellectuals yang dapat melalang buana, melintasi batas-batas komunitas yang berbeda dan bekerjasama dengan kelompok yang berbeda. Dengan demikian pendidik juga dapat melayani kaum muda perbatasan yang sedang membangun identitasnya dalam interaksi dengan berbagai kelompok dan budaya yang berbeda. Dalam situasi budaya ini dituntut pedagogis transformatif atau pedagogi kritis yang pada intinya menyatakan bahwa proses pembelajaran menuntut baik pendidik maupun peserta didik untukbelajar to think outside the box dan to live outside the box. Hal ini diperlukan lebih-lebih karena perkembangan dunia kita bukanlah perkembangan yang linier, progresif tetapi perkembangan yang penuh ketidakpastian.
Kehadiran postmodernisme membawa dampak positif yang besar dimana setiap individu memiliki makna-makna tersendiri sesuai dengan hakikatnya dan diberikannya kebebasan individu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan hakikatnya pula.

D.    KESIMPULAN
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange).
Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan. Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity).
Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman. Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.


DAFTAR PUSTAKA

Agger, Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana: Yogyakarta
Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung
J. Sudarminta, 2010, Postmodernisme dan Komersialisasi Pendidikan Tinggi (Dua Tantangan Pendidikan Bagi Perguruan TinggiKatolik di Era Global) dapat diakses melalui http://www.aptik.or.id/artikel/postmodernisme-dan-komersialisasi-pendidikan-tinggi
Nurani Soyomukti, 2010. Teori-teori Pendidikan : Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis, Postmodern. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media Group.
M. Sastrapratedja, SJ. 2011. Epistemologi Kultural. Bahan kuliah mata kuliah Epistemologi Program Doktor Ilmu Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
_________________. 2011. Sejarah Filsafat Kontemporer : Poststrukturalisme dan Postmodernisme. Bahan kuliah mata kuliah Epistemologi Program Doktor Ilmu Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
_________________. 2011. Postmodernismedan Multikulturalisme dalam Pendidikan. Bahan kuliah mata kuliah Epistemologi Program Doktor Ilmu Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Ratna, Nyoman Kutha.2011, Estetika Sastra Dan Budaya.Yogyakarta: Pustaka Belajar
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana: Yogyakarta
Santoso, Listiyono. 2009. Postmodernisme: Kritik atas Epistemologi Modern (dalam “Epistemologi Kiri”). Ar Ruzz Media Cetakan Ke-VI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar