ANALISIS PEMIKIRAN FILOSOFI DAN TEORI PENDIDIKAN POST MODERN
Oleh: Arifmiboy - 14169049
A.
RINGAKSAN MATERI
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap
timbulnya postmodernisme. Pada umumnya yang dianggap sebagai titik tolak
lahirnya postmodernisme adalah filsafat Nietzschean, seperti penolakannya
terhadap absolutisme filsafat Barat dan sistem pemikiran tunggal. Menurut Sarup
(2003: 231-232) postmodernisme adalah gerakan kultural yang semula terjadi di
masyarakat Barat tetapi telah menyebar ke seluruh dunia, khususnya dalam bidang
seni. Beberapa masalah pokok yang dikaitkan dengan postmodernisme dalam bidang
seni, antara lain hilangnya batas-batas sekaligus hierarki antara budaya
populer dengan budaya elite, budaya massa dengan budaya tinggi. Dalam karya sastra,
misalnya, hilangnya batas-batas yang tegas antara seniman sebagai pencipta
dengan pembaca sebagai penerima, bahkan pengarang dianggap sebagai anonimitas.
Menurut Pauline Rosenau (1992) postmodernisme
merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi
janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang
diasosiasikan dengan modernitas, yaitu pada akumulasi pengalaman
peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara
bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas
modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi
liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria
evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. teoritisi
postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia
(world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme : for
begginers, Appignanesi, Garrat, Sardar, dan Curry (1998) mengatakan bahwa
postmodernisme menyiratkan pengingkaran, bahwa ia bukan modern lagi.
Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa atau seluruh
pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari
modernisme Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki
besar, yaitu:
Ia melawan dan mengaburkan pengertian postmodernisme Ia menyiratkan
pengetahuan yang lengkap tentang modernisme yang telah dilampaui oleh zaman
baru. Sebuah zaman, zaman apapun, dicirikan lewat bukti perubahan sejarah dalam
cara kita melihat, berpikir, dan berbuat. Kita dapat mengenali perubahan ini pada lingkup
seni, teori, dan sejarah ekonomi.
B.
BAHASAN
Istilah Postmodernisme sangat membingungkan, bahkan
meragukan. Asal usulnya adalah dari wilayah seni : Musik, seni rupa, roman dan
novel, drama, fotrografi, arsitektur. Dan dari situ merembet menjadi istilah
mode yang dipakai oleh beberapa wakil dari beberapa ilmu. Dan akhirnya istilah
itu oleh filosof Prancis, Jean-Francois Lyotard, dimasukkan ke dalam
kawasan filsafat dan sejak itu diperjualbelikan sebagai sebuah “isme” baru.
Istilah “Postmodernisme” membingungkan karena
memberikan kesan bahwa kita berhadapan dengan sebuah aliran atau paham
tertentu, seperti Marxisme, eksistensialisme, kritisisme, idealisme, dan
lain-lain. Padahal para pemakai label itu biasanya tidak berbicara
tentang “postmodernisme”, melainkan tentang “pemikiran pascamodern”. Misalnya
Rorty atau Derrida, amat beraneka ragam cara pemikirannya. Di Indonesia, sesuai
kebiasaan, kita malah malas mengungkapkan seluruh kata “postmodernisme” dan
menggantikannya dengan “posmo”. Sesuai dengan gaya berfikir mitologis dan
parsial dimana yang penting simbolnya saja, bukan apa yang sebenarnya dimaksud.
Padahal pemikiran “posmo” itu ada banyak dan tidak ada
kesatuan paham. Namun benar juga, ada sesuatu yang mempersatukan
pendekatan-pendekatan itu, atau lebih tepatnya ada dalam filsafat modern salah
satu kecenderungan yang muncul dalam bentuk-bentuk berbeda, namun ada kesamaan wujudnya,
dan barangkali itulah kesamaan segala macam gaya berfikir yang ditemukan unsur
“posmo”- nya itu.
Dapat dikatakan bahwa “postmodernisme” lebih merupakan
sebuah suasana, sebuah naluri, sebuah kecenderungan daripada sebuah pemikiran
eksplisit. Kecenderungan itu lalu memang mendapat ekspresi melalui pelbagai
sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lian. Adalah jasa istilah
“postmodernisme” bahwa dengan demikian kita memperoleh sebuah payung konseptual
untuk melihat kesamaan di antara mereka itu yang umumnya justru mencolok
ketidaksanaannya.
Untuk menghindari kebingungan yang lebih lanjut, maka
penulis akan membahas postmodernisme secara lebih gamblang dalam pembahasan
makalah ini. Setidaknya ada tiga unsur atau elemen yang akan dibahas lebih rinci
dalam pembahasan nanti. Yang pertama adalah mengenai sejarah ataupun konsep
dasar dari postmodernisme itu sendiri. Yang kedua adalah mengenai ciri atau
indikator daripada postmodernisme. Serta yang ketiga adalah mengenani fenomena
faktual yang terkait dengan postmodernisme.
SEJARAH
DAN KONSEP DASAR POSTMODERNISME
Miletos, kota kecil di gugusan
kepulauan Yunani abad ke-6 SM adalah tempat bermulanya cerita besar tentang
penaklukan alam oleh manusia. Di kota itulah sebermula runtuhnya mitos-mitos
arkhaik tentang alam yang berupa dongeng, fabel ataupun kepercayaan. Sejak saat
itu manusia serta-merta memberontak dari kungkungan kebudayaan mitologis dan
berusaha menggunakan akalnya untuk menjelaskan dunia.
Sejarah penaklukan alam dibawah
tatapan akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates, filsuf besar Yunani,
mempertegas usaha ini dengan semboyannya yang sangat terkenal, Kenalilah dirimu
sendiri. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya menggemakan pemikiran sang
guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep manusia. Menurut Plato, manusia
terdiri dari tiga tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia), kehendak (thymos)
dan rasio (logos). Rasio adalah tingkatan tertinggi, sekaligus mengatur
dan melingkupi fungsi-fungsi yang lain. Pandangan Plato tentang manusia ini
membawanya pada konsepsi negara ideal yang analog dengan tingkatan fungsi dalam
diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog dengan rasio). Kedua, para
prajurit (analog dengan kehendak). Ketiga, para petani dan tukang (analog
dengan tubuh) (Harun Hadiwijono, 1994: 43-44). Dengan konsepsi seperti ini
Plato memperteguh keyakinan subjektivitas manusia dengan konstruksi kebudayaan
(negara) yang berpijak pada rasio.
Sejarah filsafat berikutnya bergulir
sampai pada satu titik yang memiliki makna penting bagi kelahiran era
modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir
sebagai jawaban terhadap kebekuan pemikiran abad pertengahan. Renaisans
yang berarti kelahiran kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama
yang beku selama abad pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia
nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan
mempelajari kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat
dan martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Makna penting Renaisans
dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya sebagai tempat persemaian benih
Pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern.
Seorang filsuf besar yang menjejakkan
pengaruhnya pada masa ini adalah Rene Descartes, Bapak Rasionalisme, sekaligus
arsitek utama filsafat modern. Dengan mengadopsi dan mensintesakan pemikiran
filsuf-filsuf sebelumnya, Descartes berambisi membangun metode pengetahuan yang
berlaku untuk setiap bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian kebenaran dapat
diperoleh melalui strategi kesangsian metodis. Dengan meragukan segala sesuatu,
Descartes ingin menemukan adanya hal yang tetap yang tidak dapat diragukan.
Itulah kepastian bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang segala sesuatu. Rumusan terkenal
dari pemikiran Descartes ini adalah diktum, Cogito ergo sum, Aku berpikir maka
aku ada. Dengan diktum ini, rasio sekali lagi diyakini mampu mengatasi kekuatan
metafisis dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci
kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Sejarah kematangan kebudayaan
modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua filsuf Jerman, Immanuel Kant
dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme
ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang sudah
terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut) (Ahmad
Sahal, 1994: 13). Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan
prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut,
kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.
Sejarah pemikiran dan
kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas selanjutnya merasuk
ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern hadir sebagai kekuatan emansipatoris
yang menghantar manusia pada realitas baru. (Awuy, 1995: 41). Sementara itu
dalam dunia ilmu dan kebudayaan, modernitas ditandai dengan berkembangnya
teknologi yang sangat pesat, penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan
kapitalisme lanjut, konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer,
maraknya industri informasi televisi, koran, iklan, film, internet
berkembangnya konsep nation-state (negara-bangsa), demokratisasi dan
pluralisme.
Namun dalam penampilannya yang
mutakhir tersebut, modernisme mulai menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya:
penuh kontradiksi, ideologis dan justru melahirkan berbagai patologi
modernisme. Modernisme inilah yang telah mencapai status hegemonis semenjak
kemenangan Amerika dan para sekutunya dalam Perang Dunia II (Ariel Heryanto,
1994: 80), yakni modernisme yang tidak lagi kaya watak seperti saat awal
kelahirannya, namun modernisme yang bercorak monoton, positivistik,
teknosentris dan rasionalistik; modernisme yang yakin secara fanatik pada
kemajuan sejarah linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa
masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem
produksi.
Unsur-unsur utama modernisme: rasio,
ilmu dan antropomorphisme, justru menyebabkan reduksi dan totalisasi hakekat
manusia. Memang benar, di satu sisi modernisme telah memberikan sumbangannya
terhadap bangunan kebudayaan manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan
teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM serta
demokratisasi. Namun di sisi lain, modernisme juga telah menyebabkan lahirnya
berbagai patologi: dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran,
jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali Perang
Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta ekonomi. Berbagai patologi
inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran postmodernisme terhadap
modernisme.
Jejak-jejak pemikiran yang bernaung
di bawah payung postmodernisme dalam banyak bidang kehidupan: seni,
sastra, politik, ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan filsafat
sebenarnya sudah dapat dilacak jauh ke alur sejarah modernisme sendiri.
Lahirnya beragam bentuk realitas baru: seni bumi, seni video, sastra marjinal,
sastra yang terdiam, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma
Thomas Kuhn dan pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche,
Husserl, Heidegger, hingga Mahzab Frankfrut adalah benih-benih lahirnya
pemikiran postmodernisme.
Terutama dalam dunia filsafat,
postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui
pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang
merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec,
Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984). Lyotard
secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga
sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995:
158). Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan
teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah
dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip
kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi
berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan
logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy, 1995:
161). Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan langkah
tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, seperti
dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni merupakan indikasi
lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain
dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau
menaklukan realitas lain (Lash, 1990: 234).
Lebih jauh Lyotard menyatakan
prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas,
oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear yang disebutnya Grand
Narrative telah kehilangan legitimasi (Awuy, 1995: 158-161). Cerita-cerita
besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang
bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.
Dari arah berbeda dengan fokus
filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain,
bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan
asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan
dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur
yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan
batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Ahmad Sahal, 1994: 21). Dengan
dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan
disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan
dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis
strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan
antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta
keseriusan-permainan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis,
kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau
gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah
modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.
Strategi yang sarat emansipasi ini
pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan Perancis Michel
Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan
yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan pandangan modernisme yang menyatakan
adanya distingsi antara pengetahuan murni dan pengetahuan ideologis,
Foucault menyatakan pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang
sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan. Selanjutnya menurut Foucault
kekuasaan tidaklah seperti yang dipahami kaum Weberian atau Marxian. Kaum Weberian
memahami kekuasaan sebagai kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain.
Sementara kaum Marxian memahami kekuasaan sebagai artefak material yang bisa
dikuasai dan digunakan untuk menindas kelas lain. Secara cerdas Foucault
menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi
seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau kekuatan yang
menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak memiliki, melainkan merupakan
relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana (Ahmad Sahal, 1994: 17).
Pandangan tentang kuasa/pengetahuan yang tidak berpusat, tidak mendominasi dan
menyebar ini kemudian membawa Foucault untuk menolak asumsi rasio-kritis yang
universal ala Kantian. Baginya rasio tidak universal, karena seperti disuarakan
Charles Baudelaire, seorang penyair Perancis ada tanggapan lain terhadap
modernisme yakni: ironi. Karenanya Foucault sama sekali tidak berambisi
membangun teori-teori yang universal. Ia memilih membaca realitas pada ukuran
mikro. Tema-tema tak jamak semisal penjara, orang gila, rumah sakit,
barak-barak tentara, pabrik, seks, pasien dan kriminal adalah pilihan yang
disadarinya. Dan dengan pilihan ini, sekali lagi Foucault meneguhkan semangat
emansipasi kaum tertindas yang telah diawali oleh Lyotard dan Derrida.
Postmodernisme secara umum dikenal sebagai antitesis dari modernisme.
Sementara itu modernisme itu sendiri diartikan oleh Lyotard (Berstens, 1996)
sebagai proyek intelektual dalam sejarah dan kebudayaan Barat yang mencari
kesatuan di bawah bimbingan suatu ide pokok yang terarah kepada kemajuan dimana
“Aufklarung” (masa pencerahan) pada abad ke-18 menandai proyek besar ini.
Sebagai gerakan pemikiran, postmodernisme ‘berhasil’ menawarkan opini,
melontarkan apresiasi dan menikamkan kritik yang tajam terhadap wacana
modernitas dan kapitalisme (global) mutakhir. Di tengah kemapanan dan pesona
yang ditawarkan oleh proyek modernisasi dengan rasionalitasnya, postmodernisme
justru ditampilkan dengan sejumlah evaluasi kritis dan tajam terhadap impian-impian
masyarakat modern. Kritik tersebut, tidak saja mengagetkan dunia publik
intelektualitas Barat yang sejak beberapa abad terbuaikan oleh modernisme yang
membius melalui ciptaan sains dan teknologinya.
Istilah postmodernisme diketahui muncul pada tahun 1917 ketika seorang
filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya
gejala nihilisme kebudayaan Barat modern. Federico de Onis sekitar tahun
1930-an menggunakan dalam sebuah karyanya untuk menunjukkan reaksi yang muncul
dari modernisme. Kemudian di bidang historiografi digunakan oleh Arnold Toynbee
dalam “A Study of History” tahun 1947, dan sekitar tahun 1970, Ilhab
Hasan menerapkan istilah ini dalam dunia seni dan arsitektur. Pada akhirnya
istilah postmodernisme menjadi lebih popular manakala digunakan oleh para
seniman, pelukis dan kritikus.
Sehingga demikian ada banyak ragam dan terminologi dan makna dalam istilah
postmodernisme tergantung pada wilayah pendekatan yang berbeda sebagai berikut
:
(1) “Kian
berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang
bersamaan dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya
kesenangan dan keinginan” (Daniel Bell dalam “Beyond Modernism; Beyond Self”)
(2) “Logika
kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya” (Frederic
Jameson dalam “New Left Review” tahun 1984)
Pada perkembangan selanjutnya, istilah postmodernisme dilembagakan dalam
konstelasi filsafat oleh Francois Lyotard dalam bukunya “The Postmodern
Condition: A Report on Knowledge” tahun 1984. Lyotard menjelaskan bahwa
akibat pengaruh teknologi informasi, maka prinsip kesatuan ontologis yang
selama ini mendasari ide dasar filsafat modern sudah tidak lagi relevan dengan
realitas kontemporer.
Maka itu prinsip homologi (kesatuan ontologis) harus didelegitimasi oleh
paralogi (pluralisme) dengan tujuan agar kekuasaan, termasuk kekuasaan oleh
ilmu pengetahuan, tidak lagi jatuh pada sistem totaliter yang biasanya bersifat
hegemonik dan pro status-quo atau meminjam terminologi Ibrahim Ali Fauzi bahwa
postmodernisme adalah sebuah gerakan global renaissans atas renaissans yang
diartikan ketidakpercayaan atas segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat
metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang men-totalisasi
seperti Hegelianisme, Kapitalisme, Liberalisme, Marxisme, Nasionalisme,
Komunisme, Sosialisme dan lainnya.
Cukup banyak peristiwa yang bisa dikumpulkan akibat ide narasi besar
(meta-narasi) yang menandai kegagalan dari modernisme seperti kekejaman pasukan
Nazi pada perang dunia kedua yang menandai kegagalan nasionalisme.
Pemberontakan kaum buruh terhadap partai komunis yang terjadi di Berlin (1953),
Budapest (1956) dan Polandia (1980) yang menunjukkan betapa komunisme sebagai
ideologi totaliter mengandung banyak kotradiksi, yaitu bahwa pekerja
memberontak terhadap partai yang memperjuangkan nasib mereka sendiri. Dan
banyak kejadian lainnya yang bisa disebutkan termasuk aneksasi neo-liberalisme
dan neo-kapitalisme Amerika Serikat terhadap Irak.
Dalam konteks ini tidak berlebihan apabila janji modernitas, yang dibangun
oleh rasionalitas, untuk mencapai emansipasi manusia dari kemiskinan,
kebodohan, prasangka dan tiadanya rasa aman dianggap tidak masuk akal.
Modernisme disamping menciptakan kemajuan teknologi juga menciptakan
totalitarianisme, pembunuhan yang lebih massif (genosida) dan aneksasi
kolonialisme yang membabi buta. Sehingga demikian, Lyotard menolak segala macam
bentuk meta-narasi, yang ada bukan kebenaran tetapi kebenaran-kebenaran yaitu
kebenaran majemuk dan lokal (mini-narasi).
INDIKATOR
POSTMODERNISME
Akbar S. Ahmed dalam bukunya Posmodernisme dan Islam
menyebutkan delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek
modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden
(meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran. Dua,
meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari
sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia
menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma
bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi
ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh
media massa, semisal program televisi. Tiga, munculnya radikalisme etnis
dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika
orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang
dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya,
yang terjadi adalah penindasan. Empat, munculnya kecenderungan baru
untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan
masa lalu. Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai
pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga
berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat
negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran
pinggir”. Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau
kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era
postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi. Tujuh, era
postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya
eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan
realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok
budaya secara eksklusif. Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana
postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi
sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks.
Sedangkan menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa, postmodernisme
menganggap modernisme telah gagal dalam beberapa hal penting antara lain :
Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan
dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya. Kedua, ilmu
pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang
seringkali mendahului hasil penelitian. Ketiga, ada semacam kontradiksi
antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada
semacam keyakinan yang sesungguhnya tidak berdasar, bahwa ilmu pengetahuan
modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan
lingkungannya. Ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa
kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dan Kelima, ilmu-ilmu
modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi
manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu.
Postmodernisme muncul untuk “meluruskan” kembali
interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme
menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain
(the other) yang berada di luar wacana hegemoni.
Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak
terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan
kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak
pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”)
Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak
hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan
keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar
material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan
saja.
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya
sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak
kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat
hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti
yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana
baru pasti meniadakan wavana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak
kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang
saling memperkuat satu sama lain.
Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya,
Postmodenisme menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah akibat
keteledoran ekonomi modern dalam beberapa hal, yaitu:
- Kapitalisme modern terlalu tergantung pada otoritas pada teoretisi sosial-ekonomi seperti Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes, Samuelson, dan lain-lain yang menciptakan postulasi teoritis untuk secara sewenang-wenang merancang skenario bagi berlangsungnya prinsip kapitalisme;
- Modernisme memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika menganggap sejarah sebagai suatu gerakan linear menuju suatu titik yang sudah pasti. Postmodenisme muncul dengan gagasan bahwa sejarah merupakan suatu genealogi, yakni proses yang polivalen, dan
- Erat kaitannya dengan kekeliruan dalam menginterpretasi perkembangan sejarah, ekonomi modern cenderung untuk hanya meperhitungkan aspek-aspek noble material dan mengesampingkan vulgar material sehingga berbagai upaya penyelesaian krisis seringkali justru berubah menjadi pelecehan. Inkonsistensi yang terjadi adalah akibat rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Postmodernisme bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu kebulatan yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran yang meliputi Marxisme Barat, struktualisme Prancis, nihilisme, etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika.
Heterogenitas inilah yang barangkali menyebabkan
sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang
bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai
suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi
persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan
sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih mengenali
esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara sewenang-wenang
membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.
CIRI-CIRI
POSTMODERNISME
Terdapat delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu:
1.
Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas;
memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan
diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.
2. Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan
perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya
menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa
telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku
orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari
telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
3. Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena
ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan
terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi
janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah
penindasan.
4. Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas
dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
5. Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai
pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga
berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat
negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran
pinggir”.
6. Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau
kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era
postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
7. Era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya
kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai
wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk
ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.
8.
Bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan
ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era
postmodernisme” banyak mengandung paradoks
TOKOH-TOKOH POSTMODERNISME
Tokoh-tokoh memegang peran penting sebab tokohlah, sebagai subyek, yang
bertugas untuk mengakumulasikan konsep-konsep sehingga menjadi teori. Setiap tokoh adalah mata
rantai terakhir dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuam demi kemajuan umat
manusia secara keseluruhan. Tokoh – tokoh periode postmodernisme antara lain:
1. Charles
Sanders Peirce
Peirce lahir di USA ( 1839-1914). Sebagai ahli
semiotika, logika, dan matematika, Pairce lahir sezaman dengan saussure tetapi
Peirce melangkah lebih jauh daripada Saussure dengan latar belakang
sebagai ahli filsafat, ia dapat melihat dunia di luar struktur sebagai struktur
bermakna. Berbeda dengan Saussure dengan konsep diadik, Peirce menawarkan
konsep triadik sehingga terjadi jeda antara oposisi biner. Pierce jugalah yang
mengembangkan teori umum tanda-tanda, sebaliknya Saussure lebih banyak terlibat
dalam teori linguistik umum.
Pada dasarnya Peirce tidak banyak
mempermasalahkan estetika dalam tulisan-tulisannya. Akan tetapi teori-teorinya
mengenai tanda menjadi dasar pembicaran estetika generasi berikutnya.
Menurutnya makana tanda yang sesungguhnya adalah mengemukakan sesuatu. Tanda
harus diinterpretasikan agar dari tanda yang orisinil berkembang tanda-tanda
yang baru. Tanda selalu terikat dengan sistem budaya, tanda-tanda tidak
bersifat konvensional, dipahami menurut perjanjian, tidak ada tanda yang bebas
konteks. Tanda selalu bersifat plural, tanda-tanda hanya berfungsi kaitannya
denga tanda lain.
2. Roman Osipocich Jakobson
Jakobson adalah seorang linguist, ahli sastra,
dan semiotikus yang lahir di Rusia (1896-1982). Pusat perhatiannya adalah
integrasi bahasa dan sastra sesuai dengan tulisannya yang berjudul “Linguistics
and Poetics”. Jakobson melukisakan antar hubungan tersebut dengan mensejajarkan
enam faktor bahasa dan enam fungsi bahasa yang disebut poetic function of
lenguage.
Enam faktor bahasa, yaitu:
Contecxt
Addresser
Message
Addressee
Contact
Code
Enam fungsi bahasa, yaitu:
Referential
Emotive
Poetic
Conative
Phatic
Metalingual
3. Jan Mukarovsky
Mukarovsky lahir di Bohemia(1891-1975). Sebagai
pengikut strukturalisme Praha, ia kemudian mengalami pergeseran perhatian dari
struktur ke arah tanggapan pembaca. Aliran inilah yang disebut strukturalisme
dinamik. Sebagai pengikut kelompok formalis, ia memandang bahwa aspek estetis
dihasilkan melalui fungsi puitika bahasa, seperti deotomatisasi, membuat aneh,
penyimpangan, dan pembongkaran norma-norma lainnya. Meskipun demikian, ia
melangkah lebih jauh, aspek estetika melalui karya seni sebagai tanda, karya
sastra sebagai fakta transindividual. Singkatnya, karya sastra harus dipahami
dalam kerangka konteks sosial, aspek estetis terikat dengan entitas sosial
tertentu.
Peran
penting Mukarovsky adalah kemampuannya untuk menunjukkan dinamika antara
totalitas karya dengan totalitas pembaca sebagai penanggap. Ia membawa karya
sastra sebagai dunia yang otonom tetapi selalu dalam kaitannya dengan tanggapan
pembaca yang berubah-ubah. Menurutnya, sebagai struktur dinamik, karya sastra
selalu baerada dalam tegangan antara penulis, pembaca, kenyataan, dan karya itu
sendiri
4. Hans Robert Jauss
Jauss lahir di Jerman. ahli sastra dan
kebudayaan abad pertengahan, Jauss ingin memperbaharui cara-cara lama yang
semata-mata mendiskripsikan aspek-aspek kesejarahan sehingga menjadi lebih
bersifat hermeneuitas. Tetapi di pihak lain, ia juga
ingin memperbaharui kelemahan kelompok formalis yang semata-mata bersifat
estetis dan kelompok Marxis yang semata-mata bersifat kenyataan.
Tujuan pokok Jauss adalah memebongkar
kecenderungan sejarah sastra tradisional yang dianggap bersifat universal
teleologis, sejarah sastra yang lebih banyak berkaitan dengan sejarah nasional,
sejarah umum, dan rangkaian periode. Konsekuensi loguisnya adalah keterlibatan
pembaca. Untuk mempertegas peranan pembaca ini, Jauss mengintroduksi konsep
horison harapan (Erwatungshorizont). Horison harapan mengandaikan
harapan pembaca, cakrawala pembaca, citra yang timbul sebagai akibat proses
pembacaan terdahulu. Jadi, nilai sebuah karya, aspek-aspek estetis yang
ditimbulkannya bergantung dari hubungan antara unsur-unsur karya dengan horison
harapan pembaca.
5. Jurij Mikhailovich Lotman
Lotman lahir di rusia (1922).
Lotman (Fokkema-Kunne Ibsch, 1977: 2) adalah seorang ahli semiotika struktural,
ahli Rusia abad XVII dan XIX. Konsep dasar yang dikemukakan adalah
peranan bahasa sebagai sistem model pertama (ein primares
modellbildendens system) (PMS) sekaligus sebagai sistem model kedua (ein
sekundares modellbildendes system) (SMS), seperti sastra, film, seni,
musik, agama, dan mitos. Dalam sejarah sastra barat, Lotman (1977: 24-25) juga
membedakan antara estetika persamaan atau identitas (the aesthetic of identy)
dengan estetika pertentangan atau oposisi (the aesthetic of opposition).
Estetika pertama merupakan ciri khas foklor atau karya-karya sastra lama.
Sedangkan estetika yang kedua merupakan ciri karya-karya romantisme, realisme,
garda depan, dan karya-karya sastra modern.menurut Lotman (Fokkema dan
Kunne-Ibsch, 1977: 41-43), karya sastra yang bermutu tinggi justru karya-karya
yang menawarkan banyak entropy, kaya dengan ketidakterdugaan yang
tinggi. Aspek estetis dicapai dengan adanya kaitan erat antara aspek semantis
dengan aspek formal teks, sehingga dalam bahasa sehari-hari yang tidak memiliki
makna menjadi bermakna.
6. Roland Barthes
Barthes adalah seorang ahli
semiotika, kritikus sastra, khususnya naratologi. Barthes lahir di Cherbourg,
Perancis (1915-1980). Barhes dan dengan pengikutnya menolak keras pandangan
tradisional yang menganggap pengarang sebagai asal-usul tunggal karya seni.
Jenis paradigma ini telah dikemukakan oleh kelompok strukturalis, makna karya
sastra terletak dalam struktur dengan kualitas regulasinya. Melalui
Bartheskarya sastra mempunyai kekuatan baru, memperoleh kebebasan khususnya
penafsiran pembaca. Meskipun demikian kenikmatan dan kebahagiaan dalam membaca
teks mempunyai arti yang lebih luas, dan dengan sendirinya lebih etis dan
estetis. Konsep lain yang dikemukakan adalah teks sebagai readerly (lisible)
dan writterly (rewritten/scriptible). Teks tidak semata-mata
untuk dibaca, tetapi juga untuk ditulis (kembali). Dalam entensitas readerly
penulislah yang aktif, sedangkan pembaca bersifat pasif. Sebaliknya dalam writterly,
dengan anggapan bahwa penulis berada dalam kontruksi anonimitas, maka
pembacalah yang bersifat aktif, melalui aktivitas menulis.
7. Umberto
Eco
Eco adalah seorang semiotikus,
kritikus, novelis, dan jurnalis, lahir di Piedmot, Italia (1932). Menurut Eco
(1979: 7), semiotika dikaitkan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan
tanda. Menurut Eco (1979: 182-183) semua bidang dapat dikenal sebagai kode
sejauh mengungkapkan fungsi estetik setiap unsurnya. Sama dengan Peirce, esensi
tanda adalah kesanggupannya dalam mewakili suatu tanda. Setiap kode memiliki
konteks, sebagai konteks sosiokultural. Oleh karena itulah, teori tanda harus
mampu menjelaskan mengapa sebuah tanda memiliki banyak makna dan akhirnya
bagaimana makna-makna baru bisa terbentuk. Dalam hubungan inilah dibedakan
menjadi dua unsur, pertama, unsur yang dapat disesuaikan atau diramalkan
oleh kode, seperti simbol dalam pengertian Peirce. Kedua, adalah unsur
yang tidak bisa disesuaikan dengan mudah, misalnya ikon dalam pengertian
Peirce.
C.
TANGGAPAN
Postmodernisme pada dasarnya mempelajari tanda pada
bahasa, periode postmodern lebih
banyak memberikan perhatian pada tanda-tanda, sebagai estetika semiotis, dengan
pertimbangan bahwa kualitas estetis bersumber dari dan dihasilkan melalui
pemahaman terhadap sistem tanda. Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran
dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan,
dan penolakan dari modernisme Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal
dari dua teka-teki besar.
Jika kita melihat dan menelaah konteks politik hari ini, masalah postmoderrnisme
juga kerap muncul. Modernisme dengan konsep universalismenya menghendaaki semua
Negara menerapkan sistem demokrasi. Namun demokrasi yang diperjualbelikan
adalah demokrasi ala Amerika yang konon katanya paling demokratis. Amerika
serikat juga didaulat, jika tidak pantas disebut mendaulatkan diri, sebagai
Negara penjunjung tinggi HAM.
Untuk dapat menjunjung tinggi HAM seperti Amerika Serikat, maka sistem
demokrasi harus dianut terlebuh dahulu. Jadi, Negara manapun yang ingin
menghargai Hak Azasi warganya harus menerapkan sistem demokrasi ala Amerika
Serikat. Sebab Amerika Serikat lagi-lagi dianggap sebagai Negara terdepan
pengimplementasi demokrasi. Hal tersebut kemudian lebih ditekankan lagi dalam
peraturan lembaga internasional (United Nation). Semua Negara yang menjadi
anggota United nation diwajibkan untuk menjunjung tinggi HAM.
Tidak ada masalah jika Negara anggota United Nation diwajibkan
menjunjung tinggi HAM. Yang menjadi masalah adalah ketika demokrasi dianggap
satu-satunya jalan untuk menjunjung tinggi HAM. Secara tidak langsung, mereka
telah menafikan sistem lain seperti Kerajaan Khilafah dan sistem politik lokal.
Oleh karena demokrasi merupakan satu-satunya jalan, maka Negara yang ingin
menjunjung tinggi HAM harus pula menganut sistem demokrasi. Barang siapa
(negara) yang tidak mau menjunjung tinggi HAM (menganut demokrasi), maka akan
dikenai sanksi oleh lembaga tertinggi dunia tersebut. Sanksi dapat beraneka
ragam, mulai dari embargo sampai penjajahan yang berkedok penyelamatan umat
manusia.
Para postmodernis melihat proyek pendemokrasian tersebut sebagai akibat
dari modernisme. Sebab dalam modernism terdapat satu cirri penting, yaitu
universalisme dalam segala bidang. Selain universalisme, ada juga karakter
penting dari modernism yaitu Oposisi Biner (jika A benar, maka B pasti salah).
Modernism beranggapan bahwa demokrasi Amerika Serikat sudah benar, maka sesuai
dengan prinsip oposisi biner, semua sistem diluar itu adalah salah.
Postmodernisme lahir untuk mengkritik semua ambisi dan proyek mahabesar
modernism tersebut. Universalisme yang ditawarkan oleh modernism tidak mungkin
bias tercapai, sebab dunia ini dipenuhi oleh perbedaan dan keanekaragaman baik
dalam hal ekonomi, social, politik dan terlebih lagi budaya. Merupakan sebuah
kemustahilan jika kita ingin membuat semua Negara yang penuh dengan warna dan
perbedaan tersebut hidup dengan satu cara yang sama.
Berkaitan dengan masalah HAM juga demikian halnya. Amerika serikat mengaku
sebagai penjunjung tinggi Ham, tetapi mereka pulalah yang membunuh puluhan
bahkan ratusan ribu rakyat sipil di Irak. Amerika pulalah yang membuat dan
menghidupkan penjara Guantanamo, yang notabene pelanggaran besar terhadap HAM.
Dengan label menjunjung tinggi HAM pulalah, amerika serikat kerap melakukan genosida
(pembunuhan secara massal). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dimana HAM
yang dijunjung tinggi tersebut.
Selain hal tersebut diatas, satu karakter penting modernism yang dikritik
oleh postmodernisme adalah Oposisi biner. Tidak ada yang salah dan benar dalam
dunia ini. Akan tetapi semuanya memiliki kebenaran masing-masing. Contoh yang
paling sering diangkat oleh para postmodernis adalah masalah budaya dan agama.
Semua budaya yang terdapat dimuka bumi ini memiliki cerita dan makna
masing-masing. Demikian juga halnya dengan agama, semua punya kebenaran
tersendiri. Tidak ada agama yang salah dan agama yang benar, namun semua agama
memiliki dan membawa kebenarannya.
Demikian jugalah pula dengan sistem politik yang akan dianut oleh setiap
Negara. Demokrasi yang dianut oleh Amerika serikat mempunyai kebenaran, tetapi
sistem kerajaan yang dianut oleh Inggris juga mempunyai kebenarannya sendiri.
Begitu juga dengan sistem politik di Negara atau daerah lain (politik local /
identitas misalnya) mempunyai kebenaran tersendiri lagi.
Untuk mengatasi semua perbedaan dan banyaknya kebenaran yang ada tersebut.
Maka postmodernisme menawarkan satu prinsip baru, yaitu Paralogi. Bahwa semua
bias hidup dalam keberagaman, yang dibingkai dalam prinsip Multikulturalisme.
Atau jika kita melihat Negara Indonesia misalnya, ada istilah Bhineka Tungggal
Ika (walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua).
Istilah
Postmodernisme, sulit untuk diberi batasan pengertian yang pasti. Dibandingkan
dengan “isme-isme” lain, “Postmodernisme” relatif umurnya masih amat pendek,
dan sosoknya juga masih samar. Faham ini mulai dikenal di Indonesia dan cukup
ramai diperbincangkan di media massa dan di beberapa seminar, baru pada awal
tahun 1990-an. Kedudukannya masih kontroversial. Ada yang mendukungnya dengan
penuh semangat dan menyebarluaskannya. Ada yang menolaknya dan menganggapnya
sebagai virus yang berbahaya. Ada pula yang tetap apatis dan menganggapnya
tidak penting untuk diperhatikan (J. Sudarminta, 2010).
Post-modernism
adalah suatu era yang mencoba menutupi kekurangan-kekurangan era modern.
Meskipun harus diakui tidak sedikit muncul konsepsi yang bersifat
kontrovesrsial. Salah satu key word atau diktum kalangan post-modernis adalah
all is difference, suatu diktum yang sangat kontradiktif dengan proyek
modernisme, yaitu universe. Konsepsi all is difference dimaksudkan bahwa tidak
ada unifikasi realitas obyektif dan tidak ada pusat dunia yang pasti; yang ada
adalah perbedaan pandangan dan perspektif. Begitu juga semangat yang dibangun tidak
lagi semangat optimisme, tetapi yang dibangun adalah semangat pesimisme.
Post-modernisme secara kontradiktif menolak asumsi-asumsi modernisme di dunia pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan kebenaran dan rasionalisme. Modernisme menganggap bahwa kebenaran sejati didapat dari rasionalisasi murni. Tetapi pendapat ini, di era post-modern, dirubah menjadi kebenaran tidak saja terbatas pada dimensi rasionalistik saja. Ini artinya post-modernisme menolak anggapan bahwa intelektual manusia merupakan satu-satunya penentu kebenaran. Tetapi di sana ada bagian-bagian yang dianggap lebih valid disamping rasio yakni emosi dan intuisi.
Post-modernisme secara kontradiktif menolak asumsi-asumsi modernisme di dunia pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan kebenaran dan rasionalisme. Modernisme menganggap bahwa kebenaran sejati didapat dari rasionalisasi murni. Tetapi pendapat ini, di era post-modern, dirubah menjadi kebenaran tidak saja terbatas pada dimensi rasionalistik saja. Ini artinya post-modernisme menolak anggapan bahwa intelektual manusia merupakan satu-satunya penentu kebenaran. Tetapi di sana ada bagian-bagian yang dianggap lebih valid disamping rasio yakni emosi dan intuisi.
Menurut
Hutchinson, FP (1996) dalam Sastrapratedja (2009 : 14) bahwa diskursus
postmodern menyentuh pula pendidikan. Diskursus postmodernis akan
mempertanyakan berbagai kecenderungan masa kini di bidang pendidikan:
Pendidikan atas dasar proyek modernitas lebih menyadarkan diri pada rasio
instrumental, sehingga penguasaan teknologis disamakan dengan perkembangan
manusiawi. Sebagaimana dikatakan E. Boulding, akibat dari pendekatan yang
terpaku pada teknologi sangat terasa secara luas dalam sistim pendidikan
masyarakat industrial, yang tidak menyisakan tempat bagi imaginasi mental, yang
menjadi ciri berkembangnya peradaban besar . Pembelaran sains dan teknologi
yang berdasarkan rasio instrumental itumempersempit gambaran masa depan.
I.Prigogine dalam from Being to becoming : Time and Complexity in the Physical Science mengatakan, “abad kita adalah suatu abad eksplorasi : bentuk baru seni, musik, keusestraan dan bentuk baru sains. Dewasa ini menjelang akhir abad ini, kita tak dapat mempridiksikan kemana babak baru sejarah manusia akan membawa kita, tetapi apa yang pasti adalah bahwa babakan sejarah baru ini telah melahirkan suatu dialog baru antara alam dan kemanusiaan. Jadi Postmodernisme mengajak kita untuk tidak terpaku pada dan memaksakan “metanarasi”, paradigma ilmu pengetahuan yang tunggal dan abadi (Hutchinson dalam Sastrapratedja, 2009).
Lebih lanjut dikatakannya di dalam banyak sekolah kita, matematika dan berbagai ilmu fisika dan biologoi disajikan sebagai seperangkat pengetahuan dan bukan sebagai cara untuk secara kritis menafsirkan kecenderungan empiris dan megeksplorasi berbagai alternatif. Pendidikan berperan membuka imaginasi seluas mungkin pada peserta didik. Sekolah harus berpartisipasi dalam mempermasalahkan makna sains dan teknologi yang berabad-abad diterima. (Sastrapratedja, 2009)
I.Prigogine dalam from Being to becoming : Time and Complexity in the Physical Science mengatakan, “abad kita adalah suatu abad eksplorasi : bentuk baru seni, musik, keusestraan dan bentuk baru sains. Dewasa ini menjelang akhir abad ini, kita tak dapat mempridiksikan kemana babak baru sejarah manusia akan membawa kita, tetapi apa yang pasti adalah bahwa babakan sejarah baru ini telah melahirkan suatu dialog baru antara alam dan kemanusiaan. Jadi Postmodernisme mengajak kita untuk tidak terpaku pada dan memaksakan “metanarasi”, paradigma ilmu pengetahuan yang tunggal dan abadi (Hutchinson dalam Sastrapratedja, 2009).
Lebih lanjut dikatakannya di dalam banyak sekolah kita, matematika dan berbagai ilmu fisika dan biologoi disajikan sebagai seperangkat pengetahuan dan bukan sebagai cara untuk secara kritis menafsirkan kecenderungan empiris dan megeksplorasi berbagai alternatif. Pendidikan berperan membuka imaginasi seluas mungkin pada peserta didik. Sekolah harus berpartisipasi dalam mempermasalahkan makna sains dan teknologi yang berabad-abad diterima. (Sastrapratedja, 2009)
Menurut Nurani
Soyomukti (2010 : 454) menyatakan Postmodernisme adalah gerakan pemikiran dan
filsafat baru yang pengaruhnya dalam teori dan praktik pendidikan cukup besar.
Alex Callinicos dalam bukunya “Againts Postmodernism menggambarkan dengan baik
bagaimana postmodernism meluas dan bagaimana cara pandangnya menyeruak dalam
berbagai bidang termasuk bidang pendidikan. Kaum postmodernis yang anti
universalitas dan anti objektivitas menganggap tiap individu atau komunitas
atas nama keberagaman dan keunikan budaya masing-masing dibiarkan menafsirkan
makna dari ketidaktauan akan gambaran riil tentang dunia yang terus berkembang.
Pemikiran Postmodernisme, sadar atau tidak, telah diterima oleh masyarakat kita
khususnya kaum terpelajar. Bahkan pemikiran ideologisnya juga merambah dan
meluas, merasuki cara berpikir masyarakat kita. Di Indonesia kehadiran
postmodernism telah menghadirkan diskusi yang panjang, baik yang pro maupun
yang kontra namun perdebat tersebut terlalu meluas sehingga tidak memperhatikan
dan mendalami konteks sosial dan institusional. Akibatnya banyak persoalan yang
mendasar belum dapat dipecahkan. Postmodernisme hanya sejenis eksperimen
intelektual yang kenes tidak lebih dari teori yang bersandar pada permainan
bahasa (language game) yang justru membuat kalangan terpelajar lupa pada
realitas penindasan yang membutuhkan keyakinan filsafat yang mampu mengubah
secara mendasar kapitalisme modern yang mengglobal.
Dalam proses
pembelajaran, tentu kita tidak akan menekankan cara pandang universal dan
menotalitaskan suatu gejala agar anak-anak mudah memahami, agar anak didik
memiliki ukuran dan patokan dalam menilai realitas kehidupanya. Anak didik
harus mengenal alam yang sifatnya material (konkrit, objektif) dengan
gejala-gejala yang universal. Anak didik harus mengenal bagaimana hubungan
sosial berjalan dan apakah hubungan-hubungan itu sudah sesuuai dengan
prinsip-prinsip kemanusiaan. Kemanusiaan adalah patokan dan dapat diukur, hidup
tidak mengalir seperti kotoran manusia di sungai yang kotor yang membuat orang
bebas mengikutinya. Dengan percaya kebenaran, generasi kita tahu mana yang salah
dan tahu bagaimana yang salah dan tidak manusiawi harus diubah.
Tujuan
pendidikan adalah agar generasi kita mampu mengenai, mempelajari kenyataan ini,
dan mampu mengubahnya. Tanpa pengetahuan yang objektif berarti akan
terjadimanipulasi terhadap realitas. Tanpa itu yang akan lahir adalah generasi
cuek, permisif,malas dan mengikutimaknanya sendiri. Padahal otonomi makna
adalah jitos karena tidak tercipta dengan sendirinya. Postmodernisme memiliki asumsi yang hampir
sama dengan pendidikan liberalis, yaitu menekankan individualisme dengan
menganggap bahwa setiap individu memiliki makna yang berbeda-beda. Karenanya
hal itu membawa konsekwensi dalam dunia pendidikan antara lain :
a.
Seluruh kegiatan
belajar mengajar bersifat relatif. Pengalaman personal melahirkan pengetahuan
personal, dan seluruh pengetahuan dengan demikian merupakan keluaran dari
pengalaman/perilaku personal sehubungan dengan sejumlah kondisi objektif
tertentu. Inilah prinsip relativitasme psikologis.
b.
Begitu subjektivitas
(yakni sebuah rasa kesadaran personal yang diniatkan, yang semakin berkembang
ke arah sebuah sistem diri yang mekar secara penuh atau disebut juga
kepribadian), meuncul dari proses-proses perkembangan personal, seluruh
tindakan belajar yang punya arti penting cenderung untuk bersifat subjektif.
Artinya ia sebagian besar diatur oleh yang volisional dan karenanya merupakan
perhatian yang bersifat pilih-pilih atau selektif (Landasan subjektivisme).
c.
Hampir mirip kalangan
eksistesialis, subjektivitas bertindak sesuai dengan kehendak (dengan mencari
perujudan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran personal). Kehendak itu (dalam
keadaan apapun) berfungsi melalui pilihan, yakni identifikasi daya tangkap
tentang makna tertentu di antara makna yang secara hipotesis memiliki
kemungkinan di dalam keadaan-keadaan itu.
d.
Secara umum individu
yang secara eksistensial otentik adalah orang yang bernafsu memiliki komitmen
terhadap sebuah sistim nilai (nilai/kehendak) yang dirumuskan dengan baik dan
yang secara kognitif memiliki perlengkapan. Disisi lain kaum eksistensialis
tampaknya secara mendasar terserap dalam sebuah gaya hidup yang mana individu
didorong untuk memperdalam konflik dengan cara menekankan kondisi-kondisi-keadaan
yang terang/jernih secara eksistensialis, komitmen terhadap penyelesaian aktif
atas persoalan-persoalan yang besar dan luas serta intelektualitas yang
dipandang sebagai hal-hal yang perlu bagi penciptaan sekaligus penyelesaian
masalah ketidak-bermaknaan.
e.
Kaum postmodernisme
sangat peduli pada problem-problem dan pemecahan masalah. Namun mereka lebih
condong melihat problem-problem sebagai kesempatan-kesempatan untuk menjadi
sepenuhnya hidup(yakni untuk menjadi sadar secara aktif), dan bukan sebagai kesulitan-kesulitan
sementara yang ditaklukan.
Postmodernisme
menginginkan proses pendidikan yang menyenangkan dan membebaskan. Akan tetapi
pembebasan bukanlah cita-cita dari proses pendidikan yang dijalankan secara
terencana, komprehensif, dan holistik sebagai upaya yang bertujuan mengarahkan
proses pendidikan sebagai pencerahan dan penyadaran agar peserta didik dan
seluruh elemen pembelajaran (termasuk guru) dapat diarahkan pada perjuangan
yang lebih nasionalistik dan melawan kontradiksi pokok yang menjadi pembelenggu
kehidupan manusia. Hal ini karena postmodernisme adalah filsafat yang tidak
menyukai totalitas dan gerakan besar untuk menghadapi persoalan besar.
Cara
pandang postmodernisme terhadap tujuan pendidikan adalah bahwa tujuan
pendidikan bukanlah mengubah realitas, melainkan mencari makna atau mengubah
makna tiap-tiap murid, mungkin juga guru. Padahal, kita tahu makna yang
dianggap menyenangkan atau baik bagi murid belum tentu hal itu sesuai dengan
tujuan pendidikan. Misalnya, murid sangat merasakan makna hidup ketika dia
menghindar dari jam pelajaran bahasa Inggris karena selain gurunya
menjengkelkan perlajaran ini juga dianggap paling sulit. Bukankah makna semacam
ini bukan hanya harus dijauhkan dari murid tersebut, melainkan juga harus
dienyahkan dari dunia pendidikan.
Relevansi
kririk kultural postmodernisme terhadap pendidikan juga membawa dampak terhadap
munculnya kesadaran akan keanegaraman budaya yang berkembang dalam masyarakat
dan satuan pendidikan (sekolah) sebab peserta didik yang hadir disekolah
merupakan perwakilan dari masyarakat masa depan dan sekolah sendiri merupakan
miniatur dari lingkungan masyarakat. Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan
di sekolah harus mengakomdir kepentingan perbedaan budaya sebab budaya yang
bervariasi bisa melahirkan situasi baru terhadap kerukunan kehidupan peserta
didik bilan dikelola dengan baik. Sehingga munculnya kritik kultur
postmodernisme telah memberikan nuasan baru bagi berkembangnya saling memahami
keberagaman antara peserta didik di sekolah dan di lingkungan masyarakat.
Salah
satu yang sedang berkembang sekarang ini dan ruang pendidikan kita adalah
munculnya konsep pendidikan multikultural yang dapat dikatakan reaksi atau
kritik terhadap situasi dan kondisi keberagaman yang belum sepenuhnya diterima
sebagai sesuatu yang dapat memberikan atmosfir kebebasan bagi peserta didik
tanpa dibatasai oleh budaya yang berbeda satu dengan lainnya.
Diskursus postmodernis menyatakan bahwa identitas nasional tak dapat lagi ditulis melalui kacamata keseragaman budaya atau pemaksaan lewat diskursus asimilasi. Suatu budaya postmodernis telah muncul dan ditandai oleh kekhususan, perbedaan, kemajemukadan narasi plural. Konsekwensi dari penolakan atas pemaksaan Grand Narative dalah penerimaan multikulturalisme (Sastrapratedja, 2009)
Diskursus postmodernis menyatakan bahwa identitas nasional tak dapat lagi ditulis melalui kacamata keseragaman budaya atau pemaksaan lewat diskursus asimilasi. Suatu budaya postmodernis telah muncul dan ditandai oleh kekhususan, perbedaan, kemajemukadan narasi plural. Konsekwensi dari penolakan atas pemaksaan Grand Narative dalah penerimaan multikulturalisme (Sastrapratedja, 2009)
Menurut
Sonia Nieto dalam Sastrapratedja (2009 : 14) menyebutkan ada enam aspek
critical multicultural education (disebut critical karena multikulturalisme
bukanlah multikulturalisme yang tertutup tetapi terbuka bagi kritik dan
transformasi. Enam aspek critical multicultural educatian antara lain :
Pertama, Pendidikan multikulturalisme kritis mengakui budaya siswa tanpa menganggap budaya itu sendiri statis. Budaya siswa tidak hanya diakui tetapi mendapat tempat pembahasan dalam kurikulm dan diperkaya dengan pertemuan dengan budaya lainnya atau dengan dunia diluar pengalamannya dengan demikian pedagogi menjadi pedagogi yang liberatif dan transformatif.
Pertama, Pendidikan multikulturalisme kritis mengakui budaya siswa tanpa menganggap budaya itu sendiri statis. Budaya siswa tidak hanya diakui tetapi mendapat tempat pembahasan dalam kurikulm dan diperkaya dengan pertemuan dengan budaya lainnya atau dengan dunia diluar pengalamannya dengan demikian pedagogi menjadi pedagogi yang liberatif dan transformatif.
Kedua,
Pendidikan multikulturalisme kritis menantang pengetahuan hegemonik. Suatu
perspektif multikultural yang kritis menuntut bahwa semua pengetahuan diajarkan
secara kritis termasuk pengetahuan resmi.
Ketiga, Pendidikan
multikulturalisme kritis menuntut refleksi atas pedagogi. Pendidikan
multikultural memberikan tantangan bagi guru untuk terus menerus memikirkan
kembali apa dan bagaimana yang diajarkan serta situasi macam apa yang
diciptakannya. Siswa harus merasa diperhatikan dan dihargai. Pedagogi harus
menjadi inovatif dan efektif. Tetapi untukmenjadi efektif juga harus manusiawi.
Mengajar nilai-nilai demokratis tidak secara diktatorial, melainkan harus cara
demokrasi pula. Mengajarkan nilai-nilai manusiawi hanya efektif kalau dilakukan
secara manusiawi pula.
Keempat, Pendidikan
multikulturalisme kritis mengajarkan bagaimana membangun rasa harga diri.
Tetapi rasa harga diri harus dibangun dalam konteks relasi dengan berbagai
kelompoklainnya harga diri takbisa dibangun dengan merendahkan orang lain.
Kelima,
Pendidikan multikulturalisme kritis mendorong kebebasan untuk membahas dan
mempelajari isu-isu yang kontroversial. Dengan demikian pendidikan
multikultural mengaitkan pembelajaran dengan demokrasi.tidak berarti semua
masalah bisa dipecahkan tetapi semua berusaha untuk memahami masalah.
Keenam,
Pendidikan multikultural bukanlah panacea yaitu obat yang menyelesaikan semua
masalah. Akan tetapi pendidikan multikultural dapat menjanjikan transformasi
masa depan, keadilan dan persamaan bagi semua kelompok sosial dan budaya.
Diskursus
postmodernis adalah suatu refleksi intelektual atas hakiki dan batas modernitas
barat. Disamping itu postmodernitas terkait pula dengan globalisasi yang
melahirkan budaya hibrida, berkat keterbukaan dan komunikasi antar budaya, pada
gilirannya budaya hibrida ini akan melahirkan identitas yang tidak permanen,
tetapi terus menerus dikonstruksikan. Oleh karena itu pendidikan haruslah
menjadi border intellectuals yang dapat melalang buana, melintasi batas-batas
komunitas yang berbeda dan bekerjasama dengan kelompok yang berbeda. Dengan
demikian pendidik juga dapat melayani kaum muda perbatasan yang sedang
membangun identitasnya dalam interaksi dengan berbagai kelompok dan budaya yang
berbeda. Dalam situasi budaya ini dituntut pedagogis transformatif atau
pedagogi kritis yang pada intinya menyatakan bahwa proses pembelajaran menuntut
baik pendidik maupun peserta didik untukbelajar to think outside the box dan to
live outside the box. Hal ini diperlukan lebih-lebih karena perkembangan dunia
kita bukanlah perkembangan yang linier, progresif tetapi perkembangan yang
penuh ketidakpastian.
Kehadiran
postmodernisme membawa dampak positif yang besar dimana setiap individu
memiliki makna-makna tersendiri sesuai dengan hakikatnya dan diberikannya
kebebasan individu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan hakikatnya pula.
D. KESIMPULAN
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang
dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan
kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga
postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan
modernitas: akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi,
urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat.
Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan,
tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme,
egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral,
peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal
dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan
sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi
yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis)
telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang
sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun,
hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan
apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa
postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan
pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil
jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar
pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman
personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos,
sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini
Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran
simbolis (symbolic exchange).
Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan
batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan
kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir
postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan
menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya
Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains,
puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang
teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali
mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu
logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada
gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat
modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian
tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa
yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan,
daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian,
penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan,
penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan,
kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi
postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity)
daripada persatuan (unity).
Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara
lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi
otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis,
didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak
karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih
lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan
yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari
mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman. Postmodernitas adalah
modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang
direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan
kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya.
Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif
(ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan
namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas
penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan
ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan
kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan
yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai
dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima
elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh
superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau
pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas,
akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya
teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh
teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.
DAFTAR PUSTAKA
Agger,
Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya.
Kreasi Wacana: Yogyakarta
Ahmed,
Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan:
Bandung
J. Sudarminta, 2010, Postmodernisme
dan Komersialisasi Pendidikan Tinggi (Dua Tantangan Pendidikan Bagi Perguruan
TinggiKatolik di Era Global) dapat diakses melalui http://www.aptik.or.id/artikel/postmodernisme-dan-komersialisasi-pendidikan-tinggi
Nurani Soyomukti, 2010. Teori-teori
Pendidikan : Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis, Postmodern. Yogyakarta
: Ar-Ruzz Media Group.
M. Sastrapratedja, SJ. 2011.
Epistemologi Kultural. Bahan kuliah mata kuliah Epistemologi Program Doktor
Ilmu Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
_________________. 2011. Sejarah
Filsafat Kontemporer : Poststrukturalisme dan Postmodernisme. Bahan kuliah mata
kuliah Epistemologi Program Doktor Ilmu Pendidikan Pascasarjana Universitas
Negeri Yogyakarta.
_________________. 2011.
Postmodernismedan Multikulturalisme dalam Pendidikan. Bahan kuliah mata kuliah
Epistemologi Program Doktor Ilmu Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri
Yogyakarta.
Jones,
Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga
Post-Modernisme. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Ratna, Nyoman Kutha.2011, Estetika Sastra Dan Budaya.Yogyakarta: Pustaka Belajar
Ritzer,
George. 2004. Teori Sosial Postmodern. Juxtapose bekerjasama dengan
Kreasi Wacana: Yogyakarta
Santoso,
Listiyono. 2009. Postmodernisme: Kritik atas Epistemologi Modern (dalam
“Epistemologi Kiri”). Ar Ruzz Media Cetakan Ke-VI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar